Jumat, 28 Oktober 2011

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF DENGAN PENDEKATAN HERMENEUTIKA UNTUK AMBATTA SUTTA DAN KUTADHANTA SUTTA


METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF DENGAN PENDEKATAN HERMENEUTIKA  UNTUK AMBATTA SUTTA DAN KUTADHANTA SUTTA


Metode adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi adalah suatu proses, prinsip, dan prosedur yang digunakan, untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dan sebenarnya metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoretis yang digunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoretis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana, 2001:145).
Seperti teori, metodologi juga diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak bisa dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, ditidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya. Adapun pengertian dari metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam penelitian (Mulyana, 2001:146). Sebagian orang menganggap bahwa metode penelitian terdiri dari berbagai teknik penelitian, dan sebagian lagi menyamakan metode penelitian dengan teknik penelitian. Tetapi yang jelas, metode atau teknik penelitian apa pun yang digunakan, baik kuantitatif ataupun kualitatif, haruslah sesuai dengan kerangka teoretis yang diasumsikan.  
Sebelum penulis menggambarkan dan menjelaskan lebih jauh tentang pendekatan Hermeneutika dan juga pemetaan ideologi yang diambil oleh penulis  yakni teori ideologi dari John B. Thompson dan dicangkok dengan teori hermeneutika dari Paul Ricoeur, maka ada baiknya terlebih dahulu diulas karakteristik dari metodologi kualitatif. Banyak alasan ketika penulis harus menggunakan metodologi penelitian kualitatif sebagai sebuah pendekatan. Salah satu aspek terpenting dari pendekatan ini adalah lebih mementingkan proses, yaitu sebuah keniscayaan dari komunikasi sebagai suatu proses yang diterima dari luar.
Metode kualitatif  juga mempermudah untuk berhadapan dengan kenyataan ganda, dan metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan  antara peneliti dan responden dan selanjutnya kualitatif lebih peka  dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Maka diharapkan dapat menganalisis lebih mendalam  dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau fenomena yang sedang berkembang.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis dan menginterpretasikan  data yang tersedia. Pada dasarnya penelitian ini meletakkan penekanan pada subjektifitas untuk melakukan interpretasi terhadap suatu persoalan yang dikajinya. Seperti yang ditegaskan Deddy Mulyana dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif, penelitian ini mencari respon subjektif individual. Hasil penelitian dari metodologi penelitian kualitatif selalu terbuka untuk persoalan baru. Ini sesuai dengan pandangan subjektif mengenai realitas sosial bahwa: fenomena sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan bersifat polisemik (multimakna), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan status realitas tersebut.
Denzim dan Lincoln (1987) mendefinisikan penelitian kulitatif yakni  penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dan bersifat multimetoda, dalam fokusnya menggunakan pendekatan naturalistik interpretatif kepada subjek yang diteliti (Rakhmat, 2004:4). Menurut Miles dan Huberman, penelitian kualitatif berusaha menelaah secara intensif kehidupan sehari-hari, selain itu juga bersifat holistik, berujung pada Verstehen (pemahaman), menghasilkan tema dan pernyataan dalam bentuknya yang asli, dan menjelaskan cara pandang orang dalam setting tertentu, mengungkapkan berbagai penafsiran, dengan instrumentasi yang tidak baku, juga menganalisis dalam bentuk kata (Rakhmat, 2004:2).
Penulis juga menyadari bahwa apapun metodologinya tetap memiliki keterbatasan, seperti yang dinyatakan Dedy Mulyana (2000:18) bahwa Suatu persepektif bersifat terbatas, dan mengandung bias, karena hanya memungkinkan manusia melihat satu sisi saja dari realitas “di luar sana”.  Dengan kata lain, tidak ada perspektif yang memungkinkan manusia dapat melihat semua aspek realitas secara simultan. Dengan demikian penelitian kualitatif dengan menggunakan konsep cara kerja ideologi pun dapat mengalami pembiasan. Karena bagaimanapun suatu persepektif tak bisa lepas dari suatu tendensi, maksud, tujuan dan sebagainya. Dalam penelitian ini, yang menjadikan cara kerja ideologi seperti yang akan dibahas penulis yakni sebagai peran utama tak terkecuali mengalami pembiasan ketika meneliti suatu fenomena ilmiah, biasanya seorang peneliti menggunakan suatu perspektif yang ia anggap secara akurat menjelaskan fenomena yang ia teliti. Tentu saja dalam dunia keilmuan, penjelasan yang akurat merupakan tujuan dari suatu perspektif yang baik. Perspektif yang baik mengambarkan realitas secara jelas, dan membantu dimenemukan kebenaran.
   Namun kebenaran itu berada di luar manusia, dengan suatu perspektif, realitas itu tidak pernah benar-benar hadir sempurna pada manusia. Sehingga dalam penelitian ini perspektif ini hanyalah mendekatkan pada kenyataan bukan pada kenyataan sebenarnya. Mengutip Stuart Hall, kenyataan atau kebenaran itu merupakan representasi dari teks-teks yang dibaca, pelajari kemudian diterjemahkan dan tafsirkan lagi. Bahwa kenyataan mengandung distorsi atau dalam bahasa Dedy Mulyana kenyataan itu mengandung bias. Namun pemilihan penelitian kualitatif dengan paradigma atau metodologi cara kerja ideologi menyediakan beberapa “kemudahan” yang signifikan dalam penelitian komunikasi ini. Sebagai peneliti penulis lebih dimudahkan untuk memahami realitas-realitas ganda dalam proses penelitian, adanya interaksi yang intim antara peneliti dan diteliti, subjek penelitian juga merespon sistematika penelitian yang disusun, dan sebagainya.
A.    Karakteristik Penelitian Kualitatif
Beradasarkan referensi dari Chaedar Alwasilah dalam bukunya Pokoknya Kualitatif  yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, ada beberapa ciri-ciri yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya.
Berikut penulis akan coba uraikan secara singkat ciri-ciri kualitatif tersebut, antara lain:
1.        Pemahaman makna
Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “perspektif partisipan” (participant’s perspectives).
2.        Pemahaman konteks tertentu
Dalam perilaku kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu.
3.        Kemunculan teori berbasis data
Teori yang sudah jadi atau pesanan, atau a priori tidaklah mengesankan kaum naturalis, karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi, kejadian, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru.
4.        Pemahaman proses
Para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses (daripada produk) kejadian atau kegiatan yang diamati.
5.        Penjelasan sababiyah (casual explanation)
Dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Jadi yang dicari adalah sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan sababiyah lokal  (Alwasilah, 2003: 107-110).
B.     Asal Usul Hermeneutika
Disepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang sebagai teori interpretasi. Ketika setiap orang menuntut kebutuhan akan kepuasan fungsi otaknya dalam mencapai sesuatu yang ada disekelilingnya, ini berarti bahwa otak selalu bertanya-tanya dan aktif menafsirkan apa yang diterimanya, termasuk interaksi sesama manusia lewat bahasa yang memerlukan penafsiran plural. Proses tafsir dalam diri manusia akan terus berlangsung selama ia hidup. Melalui bahasalah pengalaman itu bisa digeneralisasikan ke setiap manusia.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi (Sumaryono,1999:23). Didalam istilah itu secara langsung terkandung unsur-unsur penting yaitu: mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Adapun asal-usul  hermeneutika sendiri yakni ketika Hermes  menyampaikan pesan para  dewa kepada manusia. Dan hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.
Richard Palmer (2003:15-36) menyatakan ada tiga bentuk arti dari hermeneuein yaitu hermeneuein sebagai “mengatakan”, yang merupakan signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa Latin sermo, “to say” (menyatakan), dan bahasa Latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan  bahwa utusan, didalam memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan”. Lalu hermeneuein sebagai “to explain”, interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif, ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi akspresif. Dan terakhir hermeneuein sebagai “to translate”, yang mempunyai dimensi  “to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan), yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Jadi ketika suatu teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian.
1.        Definisi Hermeneutika
Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yang diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan-persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik mengingatkan dipada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu bahwa kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan itu. Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
            Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika. Tapi dalam bukunya Hermeneutika, teori baru mengenai interpretasi, Richard Palmer mengemukakan enam definisi modern hermeneutika:
“Pertama hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua hermeneutika sebagai metodelogis filogogis yang menyatakan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain, selalnjutnya yang ketiga hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik, schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman, dan hermeneutik sebagai sejumlah kaidah  dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebagai ilmu yang mendeskripsikan konsdisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften yang melihat inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn seni, aksi, dan tulisan manusia). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir hermeneutika  sebagai sistem interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasme yakni sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai teks” (Palmer, 2003: 38-49).
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary dijelaskan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodelogis interpretasi dan eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika adalah landasan filosofi dan merupakan juga modus  analisis data. Sebagaimana filosofi pada pemahaman manusia, hal itu menyediakan landasan filosofi untuk interpretativisme. Sebagai modus analisis hal itu berkaitan dengan pengertian data tekstual. Hermeneutika terutama berkaitan dengan pemaknaan suatu analog teks, seperti yang didefinisikan Palmer dalam salah satu definisi hermenutika modernnya. Pertanyaan dasar apa teks itu?, teks seperti apa yang dipahami hermeneutika?.
Menurut Ricouer (Bleicher,2003:357), teks yang dipahami Hermeneutika adalah adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya mengijinkan prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks. Dalam memahami teks, maka antara teks, pengarang dan pengkaji harus dihubungkan dengan realitas masyarakat yang kontemporer, jadi ketiga unsur tersebut harus bersinergi, meskipun ada pemutusan antara teks dan pengarangnya dalam hal subjeknya. Dibawah ini penulis menggambarkan bagaimana hubungan antara teks, pengarang, reader ataupun yang lainnya dalam hermeneutika cycle.

Gambar  01
Hermeneutika Cycle (Hasan, Irfan, Wawancara Juni 2005)

Teks                                                   Teks




Pengarang               Reader               Pengarang           The Other


Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom, untuk melakukan ‘dekonstekstualisasi’ , baik dari sudut pandang sosiologis, maupun psikologis, serta untuk melakukan ‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda didalam tindakan membaca (‘dekontekstualisasi’ = proses ‘pembebasan’ diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’ = proses masuk kembali kedalam konteks). Otonomi teks sendiri menurut Ricour ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi  ini,  maka yang dimaksudkan dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa materi teks “melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks ini membuka diri dari kemungkinan dibaca secara luas, dimana pembacanya selalu berbeda-beda. Inilah yang dimaksud ‘rekonstekstualisasi” sebagai contoh, novel ditulis dalam kerangka waktu khusus dan historis dimana pengarangnya hidup dan menulisnya.  Maka tidak diragukan lagi kalau penulis novel mengungkapkan hal-hal khusus dalam kebudayaan  pada zamannya.
Mengutip pernyataan Paul  Ricoeur dalam buku Filsafat Wacana,  Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa (2002:217) yang secara mendasar mengatakan  bahwa teks adalah  any discourse fixed by writing. Pertama Ricouer memahami arti discourse sendiri, merujuk kepada  bahasa sebagai event yaitu bahasa yang membicarakan sesuatu. Dalam hal ini  ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis atau teks. Jenis yang kedua dari artikulasi ini memperlihatkan  bahwa teks adalah  korpus yang otonom, mandiri dan totalitas, yang dicirikan dalam empat hal. Pertama, dalam sebuah teks terdapat makna dari apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the  act  of saying), kedua makna sebuah teks  tidak lagi terikat kepada pembicara atau tidak terkait dengan apa yang  dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti penulis tidak diperlukan, meskipun Ricouer sempat mengatakan  tentang “kematian penulis” yang maksudnya  kematian bukan dalam arti sebenarnya atau transidental tetapi maksudnya si penulis terhalang oleh teks  yang sudah membaku. Seperti juga yang dikatakan oleh Barthes bahwa “pengarang sudah mati”, ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanta. Pengarang tidak lagi bicara. Menurut Barthes,
…adalah bahasa yang bicara, bukan pengarang; menulis, melalui prasyarat-prasyarat impersonalitasnya (jangan dikacaukan dengan objektivitas kebiri para novelis realis), adalah proses mencapai satu titik dimana hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (Piliang, 1999:119) 
Matinya sang pengarang dalam era postmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/ teks-teks sebagai pusat penciptaan , ketimbang pengarangnya sendiri. Matinya sang pengarang, juga diikuti dengan  dengan munculnya apa yang disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power). Dalam model ini, para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang , dan mereka berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dan diskursus. Ketiga makna tidak terikat lagi pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks  tidak lagi terikat pada sistem semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk sebuah teks , adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, yang terakhir dengan demikian teks juga tidak terikat  kepada audience awal, sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu tetapi siapapapun yang bisa membaca dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
2.        Cara Kerja Hermeneutika
Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33) menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah dilihat keunggulan hermeneutika.
Semua lingkup interpretasi mencakup pada pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang itu mengerti. Sebagai contoh misalnya: Kapan seseorang dinyatakan mengetahui adanya bahaya laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami matematika? Dapatkah dimelihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang diucapkan?
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang paling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat ia pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya kan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan  dikenal jika tidak direkonstruksi.

Ikhtisar Tipitaka

Sutta – Pitaka
1.    Suttavibhanga
2.    Khandhaka-Khandhaka
3.    Parivara
1.    Digha - Nikaya
1.  Dhammasangani
2.  Vibhanga
3.  Dhatukatha
4.  Puggalapaññatti
5.  Kathavatthu
6.  Yamaka
7.  Patthana

Digha - Nikaya

Pembagian khotbah-khotbah panjang disusun dalam tiga vagga atau rangkaian. Dalam koleksi yang sama dalam bahasa Cina ada tiga puluh khotbah, yang dua puluh enam di antaranya telah dipersamakan oleh Anesaki dengan versi Pali. Khotbah-khotbah yang dianggap berasal dari para siswa diberi tanda asterik (*).
SILAKANDHA-VAGGA
(Rangkaian ini berisikan hal mengenai tata susila. Dalam setiap bagiannya dimasukkan tulisan yang dikenal sebagai Sila, daftar
berbagai jenis perbuatan susila).
1.        Brahmajala-sutta. "Jala Brahma". Sang Buddha bersabda bahwa beliau mendapat penghormatan bukan semata-mata karena kesusilaan, melainkan karena kebijaksanaan yang mendalam yang beliau temukan dan nyatakan. Beliau memberikan sebuah daftar berisi enam puluh dua bentuk spekulasi mengenai dunia dan pribadi dari guru-guru lain.
2.        Samaññaphala-sutta. "Pahala yang dimiliki oleh setiap pertapa". Kepada Ajatasattu yang berkunjung pada Sang Buddha, beliau menerangkan keuntungan menjadi seorang bhikkhu, dari tingkat terendah sampai tingkat Arahat.
3.        Ambattha-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Ambattha mengenai kasta, yang sebagian memuat cerita tentang raja Okkaka, leluhur Sang Buddha.
4.        Sonadanda-sutta. Percakapan dengan Brahmana Sonadanda mengenai sifat-sifat Brahmana sejati.
5.        Kutadanta-sutta. Percakapan dengan Brahmana Kutadanta tentang ketidaksetujuan terhadap penyembelihan binatang untuk sajian.
6.        Mahali-sutta. Percakapan dengan Mahali mengenai penglihatan gaib. Yang lebih tinggi daripada ini ialah latihan menuju kepada pengetahuan sempurna.
7.        Jaliya-sutta. Perbincangan apakah jiwa sama dengan badan jasmani, suatu persoalan yang tidak diterangkan dan dianggap tidak tepat bagi seorang yang mengikuti latihan sebagai bhikkhu.
8.        Kassapasihanada-sutta. Percakapan dengan seorang pertapa telanjang Kassapa tentang tidak bermanfaatnya menyiksa diri.
9.        Potthapada-sutta. Perbincangan dengan Potthapada mengenai jiwa; Sang Buddha menolak memberi jawaban karena persoalan ini tidak membawa kepada penerangan dan Nibbana.
10.    Subha-sutta. Pelajaran tentang cara melatih diri yang diberikan oleh Ananda kepada siswa Subha tidak lama setelah Sang Buddha mangkat.
11.    Kevaddha-sutta. Sang Buddha menolak permintaan seorang bhikkhu untuk mempertunjukkan kegaiban. Beliau hanya menyetujui kegaiban dari ajaran. Cerita tentang seorang bhikkhu yang mengunjungi para dewa untuk mencari jawaban atas suatu masalah dan dipersilahkan menghadap Sang Buddha.
12.    Lohicca-sutta. Percakapan dengan Brahmana Lohicca mengenai kewajiban seorang guru untuk memberi bimbingan.
13.    Tevijja-sutta. Tentang ketidakbenaran pelajaran ketiga Veda untuk menjadi anggota kelompok dewa-dewa Brahma.


MAHA - VAGGA
14.    Mahapadana-sutta. Penjelasan Sang Buddha mengenai enam orang Buddha yang sebelumnya dan beliau sendiri, mengenai masa-masa mereka muncul, kasta, susunan keluarga, jangka kehidupan, pohon Bodhi, siswa-siswa utama, jumlah pertemuan, pengikut, ayah, ibu, dan kota dengan sebuah khotbah kedua mengenai Buddha Vipassi dari saat meninggalkan surga Tusita hingga saat permulaan memberi pelajaran.
15.    Mahanidana-sutta. Mengenai rantai sebab musabab yang bergantungan dan teori-teori tentang jiwa.
16.    Maha-Parinibbana-sutta. Cerita tentang hari-hari terakhir dan kemangkatan Sang Buddha, serta pembagian relik-relik.
17.    Mahasudassana-sutta. Cerita tentang kehidupan lampau Sang Buddha sebagai Raja Sudassana, dituturkan oleh Sang Buddha menjelang akhir hayatnya.
18.    Janavasabha-sutta. Sambungan khotbah kepada rakyat Nadika, sebagaimana diberikan pada No. 16, di mana Sang Buddha mengulangi cerita yang beliau peroleh dari Yakkha Javanasabba.
19.    Maha-Govinda-sutta. Pañcasikha pemusik dari surga menghadap Sang Buddha dan menceritakan kunjungannya ke surga di mana ia bertemu dengan Brahma Sanamkumara yang mengisahkan cerita Mahagovinda. Pancasikha bertanya kepada Sang Buddha apakah beliau ingat akan cerita ini dan Sang Buddha berkata bahwa beliau sendirilah Mahagovinda itu.
20.    Maha-Samaya-sutta. Khotbah mengenai Pertemuan Agung. Para dewa dari Sukavati mengunjungi Sang Buddha, yang menyebutkan mereka dalam sebuah syair berisi 151 baris.
21.    Sakkapañha-sutta. Dewa Sakka mengunjungi Sang Buddha, menanyakan sepuluh persoalan, dan mempelajari kesunyataan bahwa segala sesuatu yang timbul akan berakhir dengan kemusnahan.
22.    Maha-Satipatthana-sutta. Khotbah mengenai empat macam meditasi (mengenai badan jasmani, rangsangan indria, perasaan, pikiran) disertai penjelasan mengenai Empat Kesunyataan.
23.    Payasi-sutta. Kumarakassapa menyadarkan Payasi dari pandangan keliru bahwa tiada kehidupan selanjutnya atau akibat dari perbuatan. Setelah Payasi mangkat, Bhikkhu Gavampati menemuinya di Surga dan melihat keadaannya.
PATIKA - VAGGA
24.    Patika-sutta. Cerita mengenai seorang siswa yang mengikuti guru lain, karena Sang Buddha tidak menunjukkan kegaiban maupun menerangkan asal mula benda-benda. Selama percakapan, Sang Buddha menerangkan kedua hal tersebut.
25.    Udumbarikasihanada-sutta. Perbincangan antara Sang Buddha dengan pertapa Nigrodha di Taman Ratu Udumbarika mengenai dua macam cara bertapa.
26.    Cakkavattisihanada-sutta. Cerita tentang raja dunia dengan berbagai tingkat penyelewengan moral dan pemulihannya serta ramalan tentang Buddha Metteyya yang akan datang.
27.    Agañña-sutta. Perbincangan mengenai kasta dengan penjelasan mengenai asal mula benda-benda, asal mula kasta-kasta dan artinya yang sesungguhnya.
28.    Sampasadaniya-sutta. Percakapan antara Sang Buddha dengan Sariputta yang menyatakan keyakinannya kepada Sang Buddha dan menjelaskan ajaran Buddha. Sang Buddha berpesan untuk kerap kali mengulangi pelajaran ini kepada para siswa.
29.    Pasadika-sutta. Berita kematian Nataputta (pemimpin Jaina) disampaikan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkhotbah mengenai guru yang sempurna dan guru yang tidak sempurna serta tingkah laku para bhikkhu.
30.    Lakkhana-sutta. Penjelasan mengenai tiga puluh dua tanda Orang Besar (raja alam semesta atau seorang Buddha), yang dijalin dengan syair berisi dua puluh bagian; tiap bagian dimulai dengan "Di sini dikatakan".
31.    Sigalovada-sutta. Sang Buddha menemukan Sigala sedang memuja enam arah. Beliau menguraikan kewajiban seorang umat dengan menjelaskan bahwa pemujaan itu ialah menunaikan kewajiban terhadap enam kelompok orang (orang tua, dan lain-lain).
32.    Atanatiya-sutta. Empat Maha Raja mengunjungi Sang Buddha dan memberikan sebuah mantera (dalam syair) untuk dipakai sebagai perlindungan terhadap roh jahat. Sang Buddha mengulanginya kepada para bhikkhu.
33.    Sangiti-sutta. Sang Buddha meresmikan sebuah balai pertemuan baru di Pava dan setelah lelah, beliau memerintahkan Sariputta untuk memberi penerangan-penerangan kepada para bhikkhu. Sariputta memberikan suatu daftar ajaran tunggal disusul dengan penjelasan kelompok dua dan seterusnya hingga menjadi kelompok sepuluh.
34.    Dasuttara-sutta. Sariputta didampingi Sang Buddha memberikan khotbah "Tambahan hingga sepuluh" yang berisi sepuluh pelajaran tunggal, sepuluh pelajaran rangkap dua dan seterusnya hingga menjadi sepuluh rangkap sepuluh.

Kutadanta - sutta
Sumber: Sutta Pitaka Digha Nikaya IV -
Oleh: Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Diterbitkan : Proyek Sarana keagamaan Buddha Departemen Agama RI Tahun 1993

Demikianlah yang saya dengar.
1.        Pada suatu ketika Sang Bhagava serta sekelompok besar bhikkhu sangha, sebanyak lima ratus bhikkhu, sedang mengadakan perjalanan melalui kerajaan Magadha dan tiba di Brahmanagama, menginap di Ambalatthika, Khanumata.
Pada waktu itu Brahmana Kutadanta tinggal di Khanumata, tempat yang ramai, banyak padang rumput, hutan dan jagung, daerah yang dihadiahkan oleh Raja Bimbisara kepadanya dan ia menguasai daerah itu bagaikan raja.
Ketika itu persiapan untuk upacara korban besar telah dipersiapkan atas nama Brahmana Kutadanta. Seratus pasang sapi dan seratus pasang kambing telah disiapkan di tempat upacara.
2.        Sementara itu, para brahmana dan penduduk Khanumata mendengar berita tentang kedatangan Samana Gotama, maka mereka berduyun-duyun pergi ke Ambalatthika.
3.        Pada saat itu, Brahmana Kutadanta berada di teras atas rumahnya untuk istirahat, ia melihat orang-orang yang bepergian itu, ia bertanya kepada penjaga pintu tentang kepergian orang-orang itu. Penjaga pintu menerangkannya.
4.        Kemudian Kutadanta berpikir: "Saya mendengar bahwa Samana Gotama mengerti tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan 'tiga metoda serta enam belas peralatan tambahannya'." Saya tidak mengetahui semua hal ini, namun saya akan melaksanakan upacara korban. Nampaknya baik bagi saya bila saya menemui dan menanyakan hal ini kepada Samana Gotama. Maka ia menyuruh penjaga pintu agar menemui para brahmana dan penduduk Khanumata untuk menunggunya karena ia pun mau menemui Sang Bhagava.
5.        5 - 8. Ketika itu pula, ada banyak brahmana yang berada di Khanumata untuk mengambil bagian dalam upacara korban besar itu. Pada saat mereka mendengar berita ini, mereka menemui Kutadanta dan membujuknya, dengan alasan seperti yang telah mereka ajukan kepada Sonadanda, agar ia jangan pergi. Namun Kutadanta menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Sonadanda kepada mereka. Mereka menjadi puas dan pergi bersama Kutadanta menemui Sang Bhagava.
9.        Setelah Brahmana Kutadanta duduk, ia mengatakan apa yang telah ia dengar kepada Sang Bhagava dan memohon Beliau menerangkan tentang pelaksanaan upacara korban yang sukses dengan tiga metoda serta enam belas kondisi. "Brahmana yang baik, dengar dan perhatikanlah apa yang akan Saya katakan." "Baik," jawab Brahmana Kutadanta. "Dahulu kala ada seorang raja bernama Mahavijito yang  memiliki harta dan kekayaan yang besar sekali; memiliki gudang-gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang serta panen yang baik; lumbung dan penyimpanan harta yang penuh. Pada suatu hari ia sedang duduk sendiri, merenung dan berpikir:
"Saya memiliki segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Seluruh dunia menjadi milikku karena saya taklukkan. Suatu hal yang baik jika saya melakukan upacara korban yang besar guna memantapkan kesejahteraan dan kejayaanku saya untuk kemudian hari." Raja memanggil brahmana penasehat spiritualnya dan mengatakan apa yang telah dipikirkannya dengan berkata: "Saya akan senang sekali melakukan upacara pengorbanan yang besar demi kejayaan dan kesejahteraanku untuk masa yang lama. Katakan padaku bagaimana caranya?"  Penasehat raja menjawab: "Kerajaan sedang dalam kekacauan. Ada perampok yang merajalela di desa-desa dan kota-kota dan mengakibatkan jalan-jalan tidak aman. Bilamana hal itu masih seperti itu, lalu raja akan menarik pajak, maka raja akan bertindak salah. Namun bilamana raja berpendapat, 'saya akan segera menghentikan perampok-perampok itu dengan cara penangkapan, mendenda, mengikat dan menghukum mati!' Tetapi kejahatan itu tidak akan lenyap dengan seperti itu. Karena penjahat yang tak tertangkap akan tetap melakukan kejahatan.
10.    Ada sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekacauan ini. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai peternak dan petani, raja berikan makanan dan bibit kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai pedagang, raja berikan modal kepada mereka. Siapa saja dalam kerajaan yang hidupnya sebagai pegawai negara, raja berikan gaji dan makanan kepada mereka. Orang-orang itu melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, kerajaan akan aman dan damai, rakyat akan senang dan bahagia, mereka akan menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
11.    Raja Mahavijita menerima dan melaksanakan seperti apa yang disampaikan oleh  penasehat kepadanya. Demikianlah, rakyat hidup melaksanakan tugas mereka masing-masing, akibatnya kejahatan lenyap. Perbendaharaan raja bertambah.
Kerajaan menjadi aman dan damai. Rakyat menjadi senang dan bahagia, mereka menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.
12.    Kemudian raja memanggil penasehat dengan berkata: "Kerajaan telah aman dan damai. Saya mau melaksanakan upacara korban yang besar guna kesejahteraan dan kejayaan pada masa mendatang. Bagaimana cara melakukannya dengan baik?" "Seyogyanya, raja mengirimkan undangan kepada siapa saja dalam kerajaan ini sebagai kesatrianya di kota-kota atau desa-desa; atau para menteri, brahmana atau perumah tangga di kota maupun di desa, dengan mengatakan: 'Saya akan melaksanakan upacara korban yang besar. Saya harap anda sekalian menjadi saksi guna kesejahteraan dan kejayaanku di masa mendatang'."
"Brahmana, Raja Mahavijita menerima anjuran penasehat dan ia melakukannya. Maka mereka masing-masing para kesatria, menteri, brahmana dan perumah tangga memberikan jawaban yang sama: 'Semoga maha raja melaksanakan upacara korban. Raja, waktu telah tepat'."
  Begitulah, empat kelompok ini menyetujui pelaksanaan upacara serta ikut bagian dalam upacara tersebut.
13.    Raja Mahavijita memiliki delapan hal, yaitu:
Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya.
Ia rupawan, berpenampilan yang menyenangkan, dipercayai, tubuhnya yang bagus, berwarna cerah, berpotongan yang baik dan tegap.
Ia maha besar, memiliki harta kekayaan yang besar, gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang dan panen yang baik, lumbung dan penyimpanan harta yang penuh.
Ia sangat berkuasa, komandan pasukan yang loyal dan disiplin, terdiri dari empat divisi yaitu: pasukan gajah, kuda, kereta dan pemanah; nampaknya musuhnya dikalahkan oleh keperkasaannya.
Ia yakin pada agama, dermawan, penyantun menyokong para samana, brahmana, orang miskin, pengembara, minta-minta dan pemohon; pelaku perbuatan-perbuatan baik.
Ia terpelajar untuk berbagai macam pengetahuan. Ia mengetahui apa yang telah dikatakan dan dapat menerangkan: 'Kata-kata itu mempunyai arti anu dan itu dst..'
Ia pintar, ahli, bijaksana dan dapat memikirkan hal sekarang, yang lampau atau yang akan datang. Inilah delapan hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.
14.    Brahmana penasehat spiritualnya memiliki empat hal, yaitu:
Ia dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupun kritikan untuk kelahirannya.
Ia siswa yang telah menghafal mantra-mantra, menguasai tiga veda dengan semua indeks, ritual, phonologi, tafsiran, legenda, terpelajar dalam idiom dan gramatika, menguasai pengetahuan alam (lokayata) dan tiga puluh dua tanda tubuh orang besar (maha purisa).
Ia saleh, bermoral dan memiliki sila yang berkembang dengan baik.
Ia pintar, ahli dan bijaksana, merupakan orang yang terutama atau kedua dari orang yang berkuasa. Inilah empat hal yang dimilikinya, yang juga menjadi bahan persiapan untuk upacara korban.
15.    Namun sebelum upacara dimulai, penasehat menerangkan tiga hal kepada raja: 'Bilamana, sebelum upacara mulai, raja menyesal: 'Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini', janganlah raja berpikiran seperti ini. Bilamana sementara melaksanakan upacara, raja menyesal: 'Betapa besar kekayaan yang aku akan habiskan dalam upacara ini', maka janganlah raja berpikiran seperti itu. Bilamana upacara korban telah selesai, raja menyesal: 'Betapa besar kekayaan yang telah saya habiskan', janganlah raja berpikiran seperti itu.' Demikianlah penasehat menerangkan tiga hal kepada raja.
16.    "Brahmana, selanjutnya sebelum upacara mulai dan untuk mencegah penyesalan yang muncul pada orang-orang yang ikut melaksanakan upacara, penasehat berkata: "Saudara-saudara mungkin dalam pelaksanaan upacara korban ada orang-orang yang membunuh makhluk hidup dan ada yang menghindari pembunuhan; orang yang mengambil yang tidak diberikan dan orang yang menghindarinya; orang yang memuaskan nafsu dengan cara yang salah dan orang yang menghindarinya; orang yang berdusta dan orang yang tak berdusta, orang yang bicara kasar dan orang yang tak bicara kasar, orang yang memfitnah dan orang yang tak memfitnah, orang yang bergunjing dan orang yang tak bergunjing; orang yang serakah dan orang yang tak serakah; orang yang membenci dan orang yang tak membenci; dan orang yang berpandangan salah serta orang yang berpandangan benar. Mengenai orang-orang ini, mereka yang berbuat jahat, biarkanlah dengan kejahatan mereka itu. Sedangkan bagi mereka yang berbuat baik, semoga raja dan saudara sekalian mempersilahkan mereka melaksanakan upacara dan seyogyanya raja memberikan hadiah kepada mereka sesuai dengan kesediaan raja."
17.    "Brahmana, sementara raja melaksanakan upacara, penasehat mengarahkan dan menyenangkan serta menggembirakan hatinya dengan enam belas hal: Bilamana ada orang yang membicarakan tentang raja, selagi raja melakukan upacara: 'Raja Mahavijita melaksanakan upacara korban tanpa mengundang empat kelas masyarakat dari rakyatnya, ia sendiri tak memiliki delapan hal, juga tanpa bantuan dari penasehat yang memiliki empat hal; maka mereka tidak berbicara berdasarkan fakta. Karena raja telah mendapat persetujuan dari empat kelas masyarakat, raja memiliki delapan hal dan penasehatnya memiliki empat hal. Sehubungan dengan setiap faktor dari enam belas hal, semoga raja yakin bahwa semua hal itu telah terpenuhi. Ia dapat melaksanakan upacara, gembira dan damai.'"
18.    "Brahmana, dalam pelaksanaan upacara tidak ada sapi, kambing, unggas, babi yang dibunuh atau tidak ada makhluk hidup mana pun yang dibunuh. Tidak ada pohon yang ditebang untuk dijadikan tiang, tidak ada rumput 'Dabba' yang disabit dan diletakkan di sekeliling tiang. Para pekerja dan pembantu atau pekerja yang bekerja, tidak ada yang diancam dengan cambuk atau tongkat, sehingga tidak ada tangisan maupun air mata bercucuran di wajah mereka. Siapa yang ingin membantu, ia bekerja; ia yang tidak mau membantu, tidak bekerja. Setiap orang melakukan sesuai apa yang ia inginkan; melakukan atau tidak melakukan. Upacara dilaksanakan dengan hanya menggunakan ghee, minyak, mentega, susu, madu dan gula.
19.    "Brahmana, selanjutnya para kesatria, menteri, brahmana, petugas dan perumah-tangga, apakah dari kota atau desa, dengan membawa banyak harta, pergi menemui Raja Mahavijita, dan berkata: "Raja, harta yang banyak ini, kami bawa kemari untuk raja. Semoga raja menerimanya langsung dari kami!" "Saudara-saudara, saya telah memiliki cukup banyak harta yang didapat berdasarkan penarikan pajak yang adil. Bawa kembali milikmu itu dan ambil lagi secukupnya.!" Setelah raja menolak menerima, mereka bersama-sama ke samping dan berembuk: "Tidak pantas bagi diuntuk membawa kembali harta ini ke rumah dimasing-masing. Raja Mahavijita telah mengorbankan banyak untuk upacara. Sebaiknya dimelakukan upacara pula."
20.    Maka para kesatria membangun sambungan bagian upacara di sebelah timur lobang upacara; para pegawai membangun di selatan, para brahmana membangun di barat di utara. Barang-barang dan bentuk dana mereka adalah mirip dengan yang dilakukan oleh raja sendiri. Demikianlah, ada empat kelas masyarakat, Raja Mahavijita memiliki delapan hal dan brahmana penasehatnya memiliki empat hal. Ada tiga metoda melaksanakan upacara korban. Ini yang disebut pelaksanaan upacara dalam tiga metoda dan enam belas kondisi.
21.    Setelah Sang Bhagava menerangkan, para brahmana membuat suara riuh dan berkata: "Betapa agung upacara itu, sungguh suci pelaksanaannya!" Tetapi Brahmana Kutadanta hanya duduk diam saja. Lalu para brahmana itu berkata kepada Kutadanta: "Mengapa anda tidak menyetujui uraian yang baik dari Samana Gotama?" ,  "Saya bukan tidak menyetujui, karena barang siapa tidak menyetujui apa yang telah diterangkan dengan baik oleh Samana Gotama, maka kepalanya akan pecah tujuh. Saya sedang memikirkan bahwa Samana Gotama tidak berkata: "Demikian yang Saya dengar", atau "Demikian itu terlihat", tetapi hanya berkata "Begitulah hal itu," atau "Itu demikian". Jadi, saya berpendapat: "Sesungguhnya Samana Gotama sendiri pada waktu itu adalah Raja Mahavijita atau Brahmana Penasehat Spiritual raja. Apakah Samana Gotama mengakui bahwa ia yang melaksanakan upacara korban atau menyebabkan upacara itu dilaksanakan, yang setelah meninggal dunia ia terlahir di alam bahagia di surga?",  "Brahmana, ya saya mengakuinya. Pada waktu itu saya adalah brahmana penasehat pada upacara korban."
"Gotama, apakah ada upacara korban yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara itu?", "Ya ada, brahmana." , "Gotama, apakah itu?", "Dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik."
22.    "Gotama, tetapi apakah alasan dan sebab maka dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik adalah tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat yang lebih baik daripada upacara yang memiliki tiga metoda dan enam belas kondisi."
Brahmana, karena para arahat tidak akan pergi atau tidak ada jalan kearahatan pada upacara korban. Mengapa tidak ada? Sebab pada upacara korban terjadi pemukulan dan penangkapan di leher. Namun para arahat akan mendatangi tempat pemberian dana secara tetap, karena di situ tidak ada pemukulan atau penangkapan. Dengan demikian, maka pemberian dana secara tetap lebih tinggi daripada upacara korban."
23.    "Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada kedua cara ini?"
"Ya ada, brahmana." "Gotama, apakah itu?" "Mendirikan vihara atas nama Sangha pada empat arah."
24.    "Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara ini?" "Ya ada, brahmana." "Gotama, apakah itu?" "Orang yang memiliki keyakinan dan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha; inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada tiga cara itu."
25.    "Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara ini?" "Ya ada, brahmana." "Gotama, apakah itu?" "Jika seseorang dengan keyakinan melaksanakan sila, yaitu menghindari diri dari: pembunuhan makhluk hidup, mengambil barang yang tidak diberikan, pemuasan nafsu dengan cara yang salah, dusta, minum minuman yang dapat menyebabkan ketidakwaspadaan; inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada empat cara itu."
26.    "Gotama, apakah ada upacara yang tidak sulit dan tidak merepotkan namun menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada lima cara ini?" "Ya ada, brahmana." "Gotama, apakah itu?" "Brahmana, seandainya di dunia ini muncul seorang Tathagata, yang maha suci, telah mencapai Penerangan Agung, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Jalan, pengenal segenap alam, pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, guru para dewa dan manusia, yang Sadar, patut dimuliakan. Beliau mengajarkan pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang-orang lain, dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan para dewa brahmana; para pertapa, brahma, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, indah pada akhir, dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup selibat (brahmacariya) yang sempurna dan suci." "Kemudian, seorang yang berkeluarga atau salah seorang dari anak-anaknya atau seorang dari keturunan keluarga-rendah datang mendengarkan Dhamma itu, dan setelah mendengarnya ia memperoleh keyakinan, ia ingin menjadi bhikkhu. Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha (peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian-murni dan pengertian-jelas (sati-sampajanna); dan hidup puas." "Bagaimanakah, seorang bhikkhu yang sempurna silanya? Dalam hal ini, seorang bhikkhu menjauhi pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk; menjauhi pencurian, menahan diri dari memiliki apa yang tidak diberikan; ia hidup selibat dan menjauhi kedustaan. Ia menjauhi ucapan menfitnah, menahan diri dari menfitnah; apa yang ia dengar di sini tidak akan diceritakan di tempat lain sehingga menyebabkan pertentangan di sini. Apa yang ia dengar di tempat lain tidak akan diceritakannya di sini sehingga menyebabkan pertentangan di sana. Ia hidup menyatukan mereka yang terpecah-belah, pemersatu, mencintai persatuan, mendambakan persatuan, persatuan merupakan tujuan pembicaraannya.
Ia menjauhi ucapan kasar, menahan diri dari penggunaan kata-kata kasar, ia menjauhi pembicaraan yang menahan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat, ia berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, berguna, tentang Dhamma dan Vinaya. Ia melaksanakan Cula Sila, Majjhima Sila dan Maha Sila (seperti yang tersebut dalam Brahmajala Sutta).
'Selanjutnya, seorang Bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat adanya bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian terhadap sila. Sama seperti seorang ksatria yang patut dinobatkan menjadi raja, yang musuh-musuhnya telah dikalahkan, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan musuh-musuh; demikian pula, seorang bhikkhu yang sempurna silanya, tidak melihat bahaya dari sudut mana pun sejauh berkenaan dengan pengendalian-sila. Dengan memiliki kelompok sila yang mulia ini, dirinya merasakan suatu kebahagiaan murni (anavajja sukham). Demikianlah seorang bhikkhu yang memiliki sila-sempurna'.
Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki penjagaan atas pintu-pintu inderanya? Bilamana seorang bhikkhu melihat suatu obyek dengan matanya, ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik atau buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera penglihatannya. Ia menjaga indera penglihatannya. Bilamana ia melihat suatu obyek dengan matanya, ia mendengar suara dengan telinganya, mencium bau dengan hidungnya, ia mengecap rasa dengan lidahnya, ia merasakan sentuhan dengan tubuhnya, atau ia mengetahui sesuatu (dhamma) dengan pikirannya ia tidak terpikat dengan bentuk keseluruhan atau bentuk perinciannya. Ia berusaha menahan diri terhadap bentuk-bentuk yang dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya keadaan-keadaan tidak baik dan buruk, keserakahan dan kebencian; yang telah begitu lama menguasai dirinya sewaktu ia berdiam tanpa pengendalian diri terhadap indera-inderanya. Ia menjaga indera-inderanya, dan memiliki pengendalian terhadap indera-inderanya.
Bagaimanakah seorang bhikkhu memiliki perhatian murni dan pengertian jelas? Dalam hal ini seorang bhikkhu mengerti dengan jelas sewaktu ia pergi atau sewaktu kembali; ia mengerti dengan jelas sewaktu melihat ke depan atau melihat ke samping; ia mengerti dengan jelas sewaktu mengenakan jubah atas (sanghati), jubah luar (civara) atau mengambil mangkuk (patta); ia mengerti dengan jelas sewaktu makan, minum, mengunyah atau menelan; ia mengerti dengan jelas sewaktu buang air atau sewaktu kencing; ia mengerti dengan jelas sewaktu dalam keadaan berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun berbicara atau diam. Bagaimanakah seorang bhikkhu merasa puas? Dalam hal ini seorang bhikkhu merasa puas hanya dengan jubah-jubah yang cukup untuk menutupi tubuhnya, puas hanya dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar perutnya. Kemana pun ia pergi, ia pergi hanya dengan membawa hal-hal ini. Setelah memiliki kelompok-sila yang mulia ini, memiliki pengendalian terhadap indera-indera yang mulia ini, memiliki perhatian murni dan pengertian jelas yang mulia ini, memiliki kepuasan yang mulia ini, ia memilih tempat-tempat sunyi di hutan, di bawah pohon, di lereng bukit, di celah gunung, di gua karang, di tanah kubur, di dalam hutan lebat, di lapangan terbuka, di atas tumpukan jerami untuk berdiam. Setelah pulang dari usahanya mengumpulkan dana makanan dan selesai makan; ia duduk bersila, badan tegak, sambil memusatkan perhatiannya ke depan'. Dengan menyingkirkan keinginan nafsu keduniawian, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari keinginan nafsu, membersihkan pikirannya dari nafsu-nafsu. Dengan menyingkirkan itikad-jahat, ia berdiam dalam pikiran yang bebas dari itikad-jahat, dengan pikiran bersahabat serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk, semua yang hidup, ia membersihkan pikirannya dari itikad-jahat. Dengan menyingkirkan kemalasan dan kelambanan, ia berdiam dalam keadaan bebas dari kemalasan dan kelambanan; dengan memusatkan perhatiannya pada penyerapan terhadap cahaya (akkasanni), ia membersihkan pikirannya dari kemalasan dan kelambanan. Dengan menyingkirkan kegelisahan dan kekhawatiran, ia berdiam bebas dari kekacauan; dengan batin tenang, ia membersihkan pikirannya dari kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan menyingkirkan keragu-raguan, ia berdiam mengatasi keragu-raguan; dengan tidak lagi ragu-ragu terhadap apa yang baik, ia membersihkan pikirannya dari keragu-raguan. Demikianlah, selama lima rintangan (panca nivarana) belum disingkirkan, seorang bhikkhu merasakan dirinya seperti orang yang berhutang. Tetapi setelah lima rintangan itu  disingkirkan, maka seorang bhikkhu merasa dirinya seperti orang yang telah bebas dari hutang.
Apabila ia menyadari bahwa lima rintangan itu telah disingkirkan dari dirinya, maka timbullah kegembiraan, karena gembira maka timbullah kegiuran (piti), karena batin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman, karena tubuh menjadi nyaman, maka ia merasa bahagia, karena bahagia, maka pikirannya menjadi terpusat. Kemudian, setelah terpisah dari nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka ia masuk dan berdiam dalam Jhana I; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai dengan vitaka (pengarahan pikiran pada obyek) dan vicara (obyek telah tertangkap oleh pikiran). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari kebebasan; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari kebebasan (viveka). Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari vitaka dan vicara, memasuki dan berdiam dalam Jhana II; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitaka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari konsentrasi, dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia itu, yang timbul dari konsentrasi.
Selanjutnya seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, berdiam dalam keadaan seimbang yang disertai dengan perhatian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai 'kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian-murni; ia memasuki dan berdiam dalam Jhana III. Demikianlah seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur; dan tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak diliputi oleh perasaan bahagia yang tanpa disertai dengan perasaan tergiur itu'.
Selanjutnya, dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam Jhana IV, yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian-murni (satiparisuddhi) bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikianlah ia duduk di sana, meliputi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih'. Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan-terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Demikianlah ia mengerti: "Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas empat unsur-pokok (mahabhuta) berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus menerus; bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran, dan kematian; begitu pula halnya dengan kesadaran (vinnana) yang terikat dengannya'. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat diguncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan 'tubuh-ciptaan-batin' (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan 'tubuh-ciptaan-batin' melalui pikirannya, yang memiliki bentuk memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun'. Demikian pula dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, bhikkhu itu menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan 'wujud-ciptaan-batin' (mano-maya-kaya). Dari tubuh ini, ia menciptakan 'tubuh-ciptaan-batin' melalui pikirannya; yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apa pun'.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan; ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (perbuatan-perbuatan gaib). Ia melakukan iddhi dalam aneka ragam bentuknya; dari satu ia menjadi banyak, atau dari banyak kembali menjadi satu; ia menjadikan dirinya dapat dilihat atau tidak dapat dilihat; tanpa merasa terhalang, ia berjalan menembusi dinding, benteng atau gunung, seolah-olah berjalan melalui ruang kosong; ia menyelam ia timbul melalui tanah, seolah-olah berjalan di atas tanah, dengan duduk bersila ia melayang-layang di udara. Seperti seekor burung dengan sayapnya; dengan tangan ia dapat menyentuh dan meraba bulan dan matahari yang begitu dahsyat dan perkasa, ia dapat pergi mengunjungi alam-alam dewa brahma dengan membawa tubuh kasarnya.'
Dengan pikirannya yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan dibbasota (telinga-dewa). Dengan kemampuan dibba-sota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengar suara-suara manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat'. Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus melalui pikirannya sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain, pikiran orang lain. Ia mengetahui: Pikiran yang disertai nafsu sebagai pikiran yang disertai nafsu, pikiran tanpa-nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu. Pikiran yang disertai kebencian .... pikiran tanpa kebencian ...., pikiran disertai ketidaktahuan ...., pikiran tanpa ketidaktahuan , pikiran yang teguh, ragu-ragu, berkembang, tidak berkembang, rendah, luhur dan bebas.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Demikianlah ia ingat tentang bermacam-macam kelahirannya yang lampau, seperti: satu ... sepuluh ... seratus ... seribu ... seratus ribu kelahiran, kelahiran-kelahiran pada banyak masa-menjadinya-bumi (samvatta-kappa), melalui banyak masa kehancuran bumi (vivatta-kappa), melalui banyak masa-menjadi-kehancuran bumi (samvatta-vivatta-kappa). Ia ingat, di suatu tempat demikian, namaku, makananku, keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Kemudian, setelah aku berlalu dari keadaan itu, aku lahir kembali di suatu tempat, disana namaku, makananku keluargaku, suku-bangsaku, aku mengalami kebahagiaan dan penderitaan, batas umurku adalah demikian. Setelah aku berlalu dari keadaan itu, kemudian aku lahir kembali di sini'. Demikianlah ia mengingat kembali tentang bermacam-macam kelahirannya di masa lampau, dalam seluruh seluk beluknya, dalam seluruh macamnya'.
Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), Dengan kemampuan dibba-cakkhu (mata-dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia, dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya: 'Makhluk-makhluk ini memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang jahat, penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan keliru, dan melakukan perbuatan menurut pandangan keliru.
Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam celaka, alam sengsara, alam neraka. Tetapi, makhluk-makhluk yang lain memiliki perbuatan, ucapan dan pikiran yang baik, bukan penghina para suci, pengikut pandangan-pandangan benar, dan melakukan perbuatan menurut pandangan benar. Pada saat kehancuran tubuhnya, setelah mati, mereka terlahir kembali dalam alam bahagia, alam surga'. Demikianlah, dengan kemampuan dibba cakkhu (mata dewa) yang jernih, yang melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu kehidupan, muncul dalam kehidupan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita'. Dengan pikiran yang terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin  (asava). Demikianlah, ia mengetahui sebagaimana adanya 'Inilah dukkha', 'Inilah sebab dukkha', 'Inilah akhir dari dukkha' dan 'Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya dukkha'. Ia mengetahui sebagaimana adanya: 'Inilah akhir asava' dan 'Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya asava'. Dengan mengetahui, melihat demikian, maka pikirannya terbebas dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda perwujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya, dan ia mengetahui: 'Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini'.
'Brahmana, inilah upacara yang menghasilkan pahala dan manfaat lebih besar daripada cara-cara lain."
27.    Setelah Sang Bhagava berkata, Brahmana Kutadanta berkata kepada Sang Bhagava: "Gotama, sangat bagus kata-kata yang diungkapkan! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada ia  yang tersesat atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar mereka yang mempunyai mata dapat melihat benda-benda di sekitarnya. Demikian pula dengan berbagai cara Dhamma telah dibabarkan oleh Samana Gotama kepadaku. Saya menyatakan bahwa saya berlindung kepada Samana Gotama, Dhamma dan Sangha. Semoga Samana Gotama menerima saya sebagai upasaka, mulai hari ini sampai selama-lamanya. Samana Gotama, saya sendiri akan melepasbebaskan tujuh ratus pasang sapi dan tujuh ratus pasang kambing. Saya menyelamatkan hidup mereka. Mereka dapat makan rumput hijau, minum air sejuk dan angin sejuk meliputi mereka."
28.    Kemudian secara berurutan Sang Bhagava membabarkan kepada Kutadanta tentang: dana, perbuatan baik, surga, bahaya dari pemuasan nafsu dan manfaat hidup meninggalkan kehidupan duniawi. Ketika Sang Bhagava mengetahui bahwa Brahmana Kutadanta telah siap, lembut, tidak curiga, waspada dan berkeyakinan, maka dibabarkannya Dhamma yang ditemukannya yaitu tentang dukkha (penderitaan), asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha.
Bagaikan kain bersih, yang nodanya tercuci bersih, siap untuk dicelup; demikian pula Brahmana Kutadanta yang sedang duduk di situ mencapai Mata Kebenaran yang bersih tanpa noda dan ia mengetahui bahwa 'Segala sesuatu yang mempunyai sebab, pasti akan lenyap'.
29.    Selanjutnya Brahmana Kutadanta sebagai seorang yang telah melihat 'Kebenaran, menguasainya, mengerti, menyelam ke dalamnya, yang telah melampaui keragu-raguan dan melenyapkan kegelisahan dan memiliki keyakinan kuat, yang tidak tergantung lagi pada orang lain karena pengetahuannya pada ajaran Sang Guru, berkata kepada Sang Bhagava: "Semoga Samana Gotama bersama bhikkhu sangha memberikan kesempatan kepada saya dengan menerima makanan pada besok hari."
Sang Bhagava menerima undangan itu dengan bersikap diam. Brahmana Kutadanta setelah melihat Sang Bhagava telah menerimanya, bangkit dari duduk dan meninggalkan Sang Bhagava dengan berjalan di sisi kanan beliau. Setelah menjelang pagi ia menyediakan makanan manis, keras dan lembut pada lobang upacara, selanjutnya ia memberitahukan kepada Sang Bhagava: 'Telah tiba waktunya, makanan telah siap'. Sang Bhagava setelah mengenakan jubah, mengambil jubah luar (civara) dan patta, bersama dengan para bhikkhu pergi ke lobang upacara Brahmana Kutadanta, Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Brahmana Kutadanta dengan tangannya sendiri melayani bhikkhu sangha yang dikepalai oleh Sang Bhagava, dengan makanan manis, keras dan lembut, hingga mereka menolak untuk menerimanya lagi. Setelah Sang Bhagava selesai makan, membersihkan patta dengan tangan-Nya, Brahmana Kutadanta duduk di tempat duduk yang rendah di samping Beliau. Setelah ia duduk, Sang Bhagava membabarkan membangkitkan, mendorong dan menggembirakan Brahmana Kutadanta dengan uraian dhamma; sesudah itu Beliau bangkit dari duduk dan pergi.



Ambattha - sutta

Sumber : Sutta Pitaka Digha Nikaya
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit : Badan Penerbit Ariya Surya Chandra, 1992
Bagian I
1.        Demikian yang telah kami dengar. Pada suatu ketika, sewaktu Sang Bhagava bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang Bhikkhu. Beliau tiba di suatu desa yang bernama Icchanankala, desa tempat tinggal kaum brahmana. Setelah berada di sana, Sang Bhagava tinggal di Hutan Icchanankala.
2.        Pada waktu itu brahmana Pokkharasadi sedang berdiam di Ukkattha, suatu tempat yang padat penduduknya, banyak padang rumput, hutan kayu dan ladang; tanah kerajaan yang dihadiahkan oleh Raja Pasenadi Kosala kepadanya, dan ia berkuasa penuh atas tempat itu seakan-akan ia seorang raja layaknya.
3.        Brahmana Pokkharasadi mendengar berita bahwa Samana Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang bhikkhu dan sekarang tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: "Sang Bhagava, yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna dalam menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan Pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang lain dalam dunia ini yang terdiri dari para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup pertapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci".
'Sungguh baik sekali untuk pergi mengunjungi Arahat seperti itu'.
4.        Pada waktu itu seorang brahmana muda bernama Ambattha menjadi murid brahmana Pokkharasadi. Ia adalah seorang yang hafal membaca mantra; menguasai Tri-Veda dengan indeks, upacara, fonologi, keterangan-keterangan dan cerita-ceritanya sebagai yang kelima; pandai dalam ungkapan-ungkapan dan tata bahasa; ahli ilmu lokayata (materialisme) dan pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh manusia besar (mahapurisa-lakkhana). Dan karena dikenal sebagai seorang yang ahli dalam sistim pengetahuan Tri-Veda (tevijja), maka ia dapat berkata: 'Apa yang aku ketahui, engkau juga tahu; apa yang engkau ketahui, aku juga tahu.'
5.        Kemudian brahmana Pokkharasadi memberitahu Ambattha, demikian: "Ambattha, itulah Samana Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan keluarga Sakya untuk menjalankan hidup pabbajja; bepergian menjelajahi negara Kosala bersama dengan lima ratus orang, bhikkhu, sekarang tiba di Icchanankala dan berdiam di Hutan Icchanankala. Demikianlah kabar baik mengenai Sang Gotama, Sang Bhagava yang telah tersebar luas: 'Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, sempurna menempuh Jalan, Pengenal segenap alam, Pembimbing yang tiada tara bagi mereka yang bersedia untuk dibimbing, Guru para dewa dan manusia, Yang Sadar, Yang Patut Dimuliakan. Beliau mengajarkan Pengetahuan yang telah diperoleh melalui usaha-Nya sendiri kepada orang orang lain dalam dunia ini yang meliputi para dewa, mara dan Brahma; para petapa, brahmana, raja beserta rakyatnya. Beliau mengajarkan Dhamma (Kebenaran) yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhir, baik dalam isi maupun bahasanya. Beliau mengajarkan cara hidup petapa (brahmacariya) yang sempurna dan suci.' Sungguh baik pergi mengunjungi arahat seperti itu. Sekarang, Ambattha, pergilah mengunjungi Samana Gotama; setelah bertemu dengan Samana Gotama selidiki apakah kabar baik yang telah tersebar luas mengenai Sang Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau tidak; apakah keadaan diri Sang Gotama seperti yang mereka katakan itu atau tidak'.
6.        "Tetapi, Guru, bagaimana aku dapat mengetahui keadaan Sang Gotama; apakah kabar baik yang telah tersebar luas mengenai diri Sang Gotama itu sesuai dengan kenyataan atau tidak; apakah keadaan Sang Gotama seperti yang mereka katakan itu atau tidak ?"
"Ambattha, dalam syair-syair mantra ditelah diajarkan tiga puluh dua tanda tubuh manusia besar; yang apabila seseorang memiliki tanda-tanda ini, maka ia akan menjadi salah satu dari dua hal, bukan lainnya. Bila ia hidup berumahtangga, ia akan menjadi raja yang memerintah dunia (cakkavatti-raja), seorang Raja Kebenaran (Dhamma-raja), bahkan menguasai sampai seberang empat lautan, seorang penakluk, pelindung rakyatnya, pemilik tujuh-mustika (satta-ratana). Dan inilah tujuh mustika yang ia miliki, yaitu: mustika Roda (cakka-ratana), mustika Gajah (hatthi-ratana), mustika Kuda (assa-ratana), mustika Permata (mani-ratana), mustika Wanita (itthi-ratana), mustika Harta (gahapati-ratana) dan mustika Panglima (parinayaka-ratana) sebagai yang ketujuh. Dan ia memiliki putra lebih dari seribu, memiliki pahlawan-pahlawan yang kuat untuk menghancurkan tentara musuh. Dan ia berkuasa penuh atas tanah luas yang berbataskan lautan; memerintah dengan adil tanpa mempergunakan tongkat dan pedang. Tetapi, apabila ia pergi meninggalkan hidup keluarga, mengembara sebagai petapa tanpa rumah; maka ia akan menjadi seorang Buddha, Arahat, yang menyingkirkan kegelapan dari mata dunia. Ambattha, aku pemberi syair-syair mantra; engkau telah menerimanya dariku".
7.        "Baiklah, Guru" jawab Ambattha. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan memberi hormat pada brahmana Pokkharasadi; kemudian ia naik kereta yang ditarik oleh kuda betina dan berangkat bersama dengan serombongan pemuda brahmana menuju ke Hutan Icchanankala. Setelah melanjutkan perjalanan dengan naik kereta sejauh jalan masih dapat dilalui oleh kendaraan, selanjutnya ia turun dari keretanya dan berjalan kaki ke arama.
8.        Pada waktu itu sejumlah bhikkhu sedang berjalan-jalan di udara terbuka, Kemudian Ambattha pergi mendekati para bhikkhu itu dan berkata: "Di manakah yang Mulia Gotama sekarang berdiam ? Kami datang ke mari ingin menjumpai Yang Mulia Gotama"
9.        Selanjutnya para bhikkhu itu berpikir: "Pemuda Ambattha ini berasal dari keluarga ternama dan menjadi murid brahmana Pokkharasadi yang terkenal. Sang Bhagava tentu tidak akan mengalami kesukaran untuk bercakap-cakap dengan dirinya." Dan mereka berkata kepada Ambattha: "Ambattha, Beliau tinggal di sana, di rumah yang pintunya tertutup; pergilah ke sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan melalui serambi muka; berikan tanda batuk dan ketuklah palang pintunya. Sang Bhagava akan membukakan pintu bagimu".
10.    Kemudian Ambattha menuju ke tempat tinggal Beliau yang pintunya tertutup. Ia pergi ke sana dengan diam-diam dan masuk perlahan-lahan melalui serambi muka; memberikan tanda batuk dan mengetuk palang pintunya. Sang Bhagava membuka pintu dan Ambattha masuk. Para pemuda brahmana itu juga ikut masuk, mereka bersama-sama saling bertukar salam dengan Sang Bhagava dengan kata-kata ramah dan menyenangkan; kemudian mereka duduk. Tetapi, sewaktu Sang Bhagava duduk, Ambattha berjalan kian kemari, mengucapkan sesuatu yang tidak sopan sambil berjalan kian kemari atau berdiri menghadap Sang Bhagava yang duduk di sana.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepadanya: "Ambattha, apakah begitu caranya engkau bercakap-cakap dengan para brahmana yang lanjut usianya, dengan para guru dari guru-gurumu yang berusia tua, seperti yang sekarang engkau lakukan, sambil mengucapkan sesuatu yang tidak sopan dengan sikap yang kasar sambil berjalan kian kemari atau berdiri sewaktu aku sedang duduk ?"

"Sudah tentu tidak. Gotama, Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berjalan hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berjalan. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berdiri hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berdiri. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil duduk hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang duduk. Gotama, adalah pantas untuk berbincang-bincang dengan brahmana sambil berbaring hanya sewaktu brahmana itu sendiri sedang berbaring. Tetapi, Gotama, dengan orang berkepala gundul, petapa palsu, kaum budak hitam, keturunan kaum Sudra - dengan mereka aku akan berbincang seperti yang sekarang aku lakukan dengan engkau, Gotama"
11.    "Tetapi, Ambatha, sewaktu datang ke mari engkau pasti menginginkan sesuatu. Kembalikanlah pikiranmu pada obyek yang kau miliki sewaktu datang. Pemuda Ambattha ini tidak terdidik baik, walaupun ia bangga dengan pendidikannya; apakah ini bukannya karena kurang pendidikan ?"
12.    Kemudian Ambattha menjadi tidak senang dan marah kepada Sang Bhagava yang mengatakannya kurang pendidikan; dan mengira Sang Bhagava menyesal kepadanya. Samana Gotama mengatakan diriku jahat, katanya sambil mengejek Sang Bhagava, mengolok-ngoloknya dan mencemoohkannya. Ia lalu berkata kepada Sang Bhagava : "Gotama, keturunan Sakya kejam; Gotama, keturunan Sakya kasar; Gotama, keturunan Sakya mudah tersinggung; Gotama, ¾ keturunan sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana, mereka tidak memberikan persembahan persembahan kepada kaum brahmana. Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana; mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."
Demikianlah untuk pertama kalinya pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
13.    Tetapi dengan cara bagaimana suku Sakya pernah berbuat salah kepadamu, Ambattha ?
"Pada suatu waktu, Gotama, ketika aku harus pergi ke Kapilavatthu untuk urusan pekerjaan guruku brahmana Pokkharasadi, aku mengunjungi balaikota (santhagara) suku Sakya. Dan pada waktu itu, di dalam gedung balaikota terdapat sekelompok suku Sakya, pemuda-pemuda Sakya sedang duduk di atas kursi-kursi megah; mereka saling menggelitik dengan jari-jari tangan satu sama lain, tertawa-tawa dan bergembira; dan kupikir, pastilah diriku yang dijadikan bahan tertawaan mereka; dan bahkan tak seorang pun di antara mereka yang memberikan tempat duduk kepadaku. Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum barahmana, mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."
Demikianlah untuk kedua kalinya pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
14.    "Ambattha, mengapa seekor burung walaupun kecil, dapat mengatakan apa yang disenangi dalam sarangnya sendiri. Dan demikian pula halnya dengan suku Sakya yang berada di tempatnya sendiri, di Kapilavatthu. Adalah tidak patut bagimu, Ambattha, untuk merasa tersinggung dengan suatu hal yang tidak berarti seperti itu."
15.    "Gotama, ada empat kasta (vanna) ini : Khattiya (ksatria), Brahmana, Vessa dan Sudda. Dan di antara keempat kasta ini, Gotama, tiga kasta, yaitu Khattiya, Vessa dan Sudda sesungguhnya hanya merupakan pelayan dari kaum brahmana."
"Karena itu, Gotama, sesungguhnya hal itu tidak pantas, hal itu tidak sopan. Suku Sakya itu adalah budak-budak, sebangsa budak; mereka tidak menghormati kaum brahmana, mereka tidak menghargai kaum brahmana, mereka tidak mengindahkan kaum brahmana, mereka tidak memuja kaum brahmana, mereka tidak memberikan persembahan-persembahan kepada kaum brahmana."
Demikianlah untuk ketiga kalinya Pemuda Ambattha menghina suku Sakya sebagai budak-budak.
16.    Kemudian Sang Bhagava berpikir demikian: "Pemuda Ambattha ini terlalu menghina suku Sakya dengan mencelanya berasal dari keturunan rendah. Bagaimana bila Aku menanyakan asal keturunannya sendiri?" Dan Sang Bhagava bertanya: "Ambattha, berasal dari keturunan apakah engkau?"
"Gotama, aku berasal dari keturunan Kanhayana."
"Ya, tetapi bila menyelidiki nama keturunanmu di masa lampau dari pihak ayah dan ibu, Ambattha, nampaknya suku Sakya pernah menjadi majikanmu, dan engkau adalah anak dari salah satu pelayan wanita suku Sakya. Tetapi suku Sakya mengusut kembali garis keturunan ayahnya dari Raja Okkaka."
"Pada jaman dahulu, Ambattha, karena Raja Okkaka ingin mengalihkan penggantian (kedudukan raja) pada seorang putra dari permaisuri kesayangannya, telah mengusir putra-putranya yang lebih tua: Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura - keluar dari kerajaan. Setelah diusir keluar dari kerajaan, mereka tinggal di lereng gunung Himalaya, pada tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Dan karena takut merusak kemurnian keturunan, mereka saling menikah dengan adik-adik perempuannya sendiri."
Kemudian Raja Okkaka bertanya kepada kumpulan para menterinya: "Kawan-kawan, di manakah sekarang putra-putraku berada?"
"Tuanku, ada suatu tempat di lereng gunung Himalaya, pada tepi sebuah danau di mana tumbuh sebatang pohon Saka besar. Di sanalah putra-putra Baginda berdiam. Dan karena takut merusak kemurnian keturunannya, mereka saling menikah dengan adik-adik perempuannya sendiri."
Kemudian, Ambattha, Raja Okkaka berseru dengan gembira : "Pemuda-pemuda itulah Sakya (hati pohon Ara). Sungguh sempurna-pemuda pemuda itu mempertahankan kemurniannya sendiri (parama-sakya)."
"Itulah sebabnya, Ambattha, mengapa mereka dikenal sebagai suku Sakya. Mereka adalah nenek moyang suku Sakya. Selanjutnya, Ambattha, Raja Okkaka mempunyai seorang pelayan wanita bernama Disa. Ia melahirkan seorang anak hitam. Dan tak lama setelah lahir, anak hitam itu berkata: "Cucilah aku, ibu; mandikanlah aku, ibu. Ibu, bersihkanlah aku dari kotoran ini; maka aku akan memberikan manfaat kepadamu."
"Ambattha, sama seperti sekarang orang-orang menyebut setan-setan dengan sebutan 'setan': selanjutnya mereka menyebut setan-setan dengan sebutan 'mahluk-mahluk hitam' (kanhi). Dan mereka berkata: "Anak ini dapat berbicara segera setelah ia dilahirkan. Ini adalah mahluk hitam (kanha) yang lahir, seorang setan telah lahir."
"Itulah, Ambatha, asal-usul suku Kanhayana. Ia adalah nenek moyang suku Kanhayana. Dan itulah Ambattha, apabila menyelidiki nama keturunanmu di masa lampau dari pihak ayah dan, ibu, nampaknya suku Sakya pernah menjadi majikanmu dan engkau adalah anak dari salah seorang pelayan wanita suku Sakya."
17.    Setelah Beliau berbicara demikian, para pemuda brahmana itu berkata kepada Sang Bhagava: "Janganlah kawan Gotama terlalu menghina Ambattha dengan mengatakan berasal dari keturunan seorang pelayan wanita. Kawan Gotama, pemuda Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini."
18.    Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para pemuda brahmana itu : "Baiklah, kawan-kawan, bila engkau berpikir bahwa pemuda Ambattha lahir dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha tidak terpelajar, pemuda Ambattha tidak pandai berdebat, pemuda Ambattha tidak bijaksana, pemuda Ambattha tidak dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini, biarlah pemuda Ambatttha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini. Bila engkau berpikir bahwa Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana, pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada Samana Gotama tentang hal ini, biarlah pemuda Ambattha sendiri yang melanjutkan percakapan tentang hal ini."
19.    "Kawan gotama, pemuda Ambattha lahir dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha adalah putra dari keluarga baik-baik, pemuda Ambattha terpelajar, pemuda Ambattha pandai berdebat, pemuda Ambattha bijaksana; pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini. Dan diakan berdiam diri. Pemuda Ambattha dapat memberikan jawaban kepada kawan Gotama tentang hal ini."
20.    Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, Ambattha, suatu pertanyaan yang walaupun tidak diinginkan, engkau harus menjawabnya. Apabila engkau tidak memberikan jawaban yang jelas atau memberikan jawaban yang lain; atau engkau tetap diam atau pergi, maka kepalamu akan pecah berkeping-keping di tempat ini juga. Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?"
Setelah beliau berkata demikian, pemuda Ambattha tetap diam. Dan untuk kedua kalinya Sang Bhagava bertanya kepada pemuda Ambattha: "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapakah yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ? Dan juga untuk kedua kalinya pemuda Ambattha tetap diam.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Engkau lebih baik menjawab pertanyaan itu sekarang, Ambattha. Ini bukan waktunya bagimu untuk tetap diam. Karena, Ambattha, siapapun juga yang tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tathagata sampai ketiga kalinya; maka kepalanya akan pecah berkeping-keping di tempat itu juga."
21.    Pada waktu itu Yakkha Vajirapani berada di atas Ambattha, berdiri di udara dengan membawa pemukul besi besar yang membara, menyala-nyala dan menyilaukan; dengan maksud apabila pemuda Ambattha tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sang Bhagava yang ketiga kalinya; segera aku akan memecahkan kepalanya berkeping-keping di tempat ini juga.
Sang Bhagava melihat Yakkha Vajirapani itu, demikian pula pemuda Ambattha. Dan Ambattha yang sadar akan hal itu merasa ketakutan, panik serta seluruh rambutnya menjadi berdiri; mencari keselamatan kepada Sang Bhagava, mencari perlindungan pada Sang Bhagava dan mencari bantuan pada Sang Bhagava; ia duduk dekat Sang Bhagava dan berkata: "Apakah yang telah dikatakan oleh Yang Mulia Gotama? Katakanlah sekali lagi, Yang Mulia Gotama !"
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?"
"Demikianlah, Gotama, yang telah kudengar tentang asal-usul suku Kanhayana dan tentang mereka yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana, sama seperti yang dikatakan oleh yang Mulia Gotama."
22.    Setelah ia berkata demikian, para pemuda brahmana itu menjadi gempar, ribut; dan mereka berkata: "Pemuda Ambattha benar-benar lahir dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha benar-benar putra dari keluarga yang tidak baik, pemuda Ambattha benar-benar putra dari salah seorang pelayan wanita suku Sakya, pemuda Ambattha benar-benar putra dari budak suku Sakya. Ditidak mengira bahwa Samana Gotama yang tidak dipercaya itu, sesungguhnya kata-kata-Nya benar."
23.    Dan Sang Bhagava berpikir: "Para pemuda brahmana ini terlalu menghina Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Biarlah Aku membebaskannya dari celaan mereka." Dan Sang Bhagava berkata kepada para pemuda brahmana itu: "Kawan-kawan, janganlah terlalu menghina pemuda Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Dan selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti. Setelah pergi ke negara bagian selatan (Dekkan) untuk mempelajari mantra gaib, ia kembali ke tempat Raja Okkaka untuk meminta putrinya yang bernama Khudda-rupi menjadi isterinya. Sebagai jawaban kepadanya, Sang Raja berkata: "Siapakah gerangan resi yang menjadi putra pelayan wanitaku ini, yang meminta Khudda-rupi putriku sebagai istrinya?" Karena marah serta merasa tidak senang, baginda memasang sebatang anak panah pada busurnya. Tetapi ia tidak dapat menerbangkan anak panah itu atau pun melepaskannya dari tali busur lagi. Kemudian para menteri dan pembantu pembantu raja mendatangi Kanha sang resi itu, dan berkata: "Bhadante, biarlah Baginda selamat (sotthi hotu); bhadante, biarlah Baginda selamat."
"Sang Raja akan selamat, bila ia memanahkan anak panahnya ke bawah, maka tanah seluas wilayah kerajaannya akan mengering."
"Bhadante, biarlah Baginda selamat; biarlah negaranya selamat juga."
"Sang Raja akan selamat, negaranya juga akan selamat; tetapi bila ia memanahkan anak panahnya ke atas, maka hujan tidak akan turun di seluruh wilayah kerajaannya selama tujuh tahun."
"Sang Raja akan selamat, negaranya akan selamat dan hujan akan turun; tetapi biarlah Sang Raja memanahkan anak panahnya kepada putranya yang tertua. Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa pun."
"Selanjutnya, kawan-kawan, para menteri memberitahukan hal ini kepada Raja Okkaka, dan berkata: "Biarlah Baginda memanahkan anak panahnya kepada putra tertua; Pangeran akan selamat dan tidak akan mengalami cedera apa pun." Kemudian Raja Okkaka memanahkan anak panahnya kepada putranya yang tertua dan Pangeran selamat, tidak mengalami cedera apa pun. Demikianlah, baginda yang menjadi takut dengan pelajaran yang diberikan kepadanya, telah menyerahkan Khudda-rupi putrinya menjadi istri Kanha itu. Karenanya, kawan-kawan, janganlah terlalu menghina pemuda Ambattha dengan mencelanya sebagai anak yang berasal dari seorang budak wanita. Selanjutnya Kanha itu menjadi resi yang sakti."
24.    Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang pemuda khattiya (kesatria) mengadakan hubungan dengan seorang gadis brahmana. Dan sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra. Selanjutnya, apakah putra yang lahir dari pemuda khattiya dan gadis brahmana itu akan menerima tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum brahmana?"
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."
"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantranya atau tidak ?"
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."
"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis gadis mereka atau tidak?"
"Ia tidak akan dilarang, Gotama."
"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia menerima upacara penyucian seorang khattiya?"
"Tidak, Gotama."
"Apakah sebabnya?"
"Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ibu, Gotama."
25.    "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang pemuda brahmana mengadakan hubungan dengan seorang gadis khattiya. Dan sebagai akibat dari hubungan mereka lahirlah seorang putra. Selanjutnya, apakah putra yang lahir dari pemuda brahmana dan gadis khattiya itu akan menerima tempat duduk dan air (sebagai tanda penghormatan) dari kaum brahmana ?"
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."
"Tetapi apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantranya atau tidak ?"
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."
"Tetapi apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis- gadis mereka atau tidak?"
"Ia tidak akan dilarang, Gotama."
"Tetapi apakah kaum khattiya akan mengijinkan ia menerima upacara penyucian seorang khattiya?"
"Tidak, Gotama."
"Apakah sebabnya ?"
"Karena ia bukan keturunan murni pada pihak sang ayah, Gotama."
26.    "Maka, Ambattha, apakah seseorang dengan membandingkan wanita dengan wanita, atau lelaki dengan lelaki, maka kaum khattiya adalah lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah ?"
"Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang brahmana berbuat suatu kesalahan dan diusir oleh kaum brahmana keluar dari kerajaan atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum brahmana ?"
"Sudah tentu tidak, Gotama."
"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai sajian ?"
"Sudah tentu tidak, Gotama."
"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra kepadanya atau tidak ?"
"Sudah tentu tidak, Gotama."
"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis-gadis mereka atau tidak ?"
"Ia akan dilarang, Gotama."
27.    "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha ? Seandainya seorang khattiya berbuat suatu kesalahan, dan diusir oleh kaum khattiya keluar dari kerajaan atau keluar dari - kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Apakah ia akan menerima tempat duduk dan air di antara kaum brahmana ?"
"Ya, Gotama, ia akan menerimanya."
"Apakah kaum brahmana mengijinkannya untuk ikut ambil bagian dalam upacara persembahan makanan kepada orang mati, atau dalam upacara persembahan makanan yang dimasak dalam susu, atau dalam upacara persembahan kepada para dewa, atau dalam upacara persembahan makanan sebagai sajian ?"
"Ya, Gotama, mereka akan mengijinkannya."
"Apakah kaum brahmana akan mengajarkan mantra kepadanya atau tidak ?"
"Ya, Gotama, mereka akan mengajarkannya."
"Apakah ia akan dilarang untuk berhubungan dengan gadis-gadis mereka atau tidak ?"
"Ia tidak akan dilarang, Gotama."
"Dengan demikian, Ambattha, seorang khattiya akan merosot rendah sekali karena diusir oleh kaum khattiya keluar dari kerajaan atau keluar dari kota dengan menggunduli dan menaburkan abu di atas kepalanya. Maka, Ambattha, walaupun seorang khattiya merosot sekali, tetapi masih tetap kaum Khattiya lebih tinggi dan kaum brahmana lebih rendah."
28.    "Lagi pula, Ambattha, Sanam Kumara, salah seorang dari dewa-dewa Brahma yang mengucapkan syair ini :
"Seorang khattiya adalah yang terbaik di antara kumpulan ini, yang mempertahankan keturunannya.
Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia."
Syair ini, Ambattha, telah diucapkan dengan baik dan bukannya diucapkan dengan tidak baik oleh Brahma Sanam Kumara; kata-kata yang baik dan bukan kata-kata jahat ini; penuh arti dan bukan kosong dari arti. Karenanya, Aku membenarkannya, Ambattha, Aku juga menyatakan : "Seorang khattiya adalah yang terbaik di antara kumpulan ini, yang mempertahankan keturunannya.
Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.


1 komentar:

  1. Aw, this was an extremely good post. Taking the time and actual effort
    to generate a very good article… but what can I say… I procrastinate
    a lot and never manage to get nearly anything done.

    Feel free to visit my web site :: soal cpns

    BalasHapus

TAMBAHKAN KOMENTAR DENGAN :


1. GAMBAR » [img] URL GAMBAR [/img]
2. VIDEO » [youtube] URL VIDEO [/youtube]
3. EMOTICON »

:a :b :c :d :e :f :g :h :i
:j :k :l :m :n :o :p :q :r
:s :t :u :v :w :x :y :z