ANALISIS PENANGGALAN NODA
BATIN DALAM ANANGANA-SUTTA DAN VATTHUPAMA-SUTTA
A. PENDAHULUAN
Ajaran Buddha memberikan
petunjuk untuk menjalani hidup yang lebih baik, mulia dan bahkan untuk
mencapain kebebasan dari penderitaan. Memiliki pandangan atau pengertian sesuai
dengan Dhamma, akan cenderung mengarahkan diri kedunia lebih baik tidak
mudah dipengaruhi oleh hal negatif, Mempraktekan Dhamma dengan baik, ia
telah menanam benih untuk mencapai kebebasan dari noda batin (kilesa). “
Dengan cara yang sama bagi seorang murid tak tergoyahkan keyakinannya pada Buddha,
Dhamma, Sangha. Mempunyai kebajikan seperti Bhagava, hal itu akan
membawanya melaju dan mencapai pantai seberang dan melaju kepada lenyapnya
kekotoran batin” (S.V.396).
Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang
jelas dan konkrit mengenai konsep Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta. Usaha penelaahan Penanggalan Noda Batin ini,
dimaksudkan untuk mendapatkan pengertian yang jelas mengenai konsep Penanggalan
Noda Batin, cara penanggalan yang disajikan pada waktu dan orang yang berbeda serta mengetahui
keabsahan dari cara Buddha mengajarkan Dhamma yang berdasarkan pada
kondisi batin para siswa.
Usaha mengkaji konsep Penanggalan
Noda Batin akan dapat menimbulkan pengetahuan tentang cara Penanggalan Noda Batin
Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta, sehingga menjadi suatu
penelitian yang dapat diterapkan untuk berusaha menanggalkan Noda Batin
berdasarkan kapasitas diri sendiri.
Sulit menemukan manusia yang
mau menganalisa sutta-sutta dari Buddhisme khususnya Penanggalan
Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta. Hal ini
berawal dari kemalasan untuk mengembangkan pengetahuan dan anggapan bahwa sutta-sutta
ajaran Buddha semuanya sama dan tidak menarik untuk dikaji.
Mengenai konsep Penanggalan
Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta dijelaskan
oleh Buddha di dalam khususnya Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta. Peneliti tertarik dan merasa tertantang untuk
menganalisa perbedaan cara mengajar Buddha berdasarkan kondisi batin setiap
para siswa khususnya Penanggalan Noda Batin Dalam Anagana-sutta dan Vatthupama-sutta.
Cara Penanggalan Kekotoran Batin dalam Anangana Sutta, Bhikkhu
Sariputta membabarkan Anangana Sutta kepada para bhikkhu dengan menggunakan
empat perumpamaan, Bhikkhu Sariputta menjelaskan cara untuk menanggalkan noda
batin dengan, (1) mengerahkan usaha atau membangkitkan energi untuk meningalkan noda
batin, (2) membangkitkan semangat, (3) tidak akan memperhatikan tanda
keindahan. Bhikkhu Sariputta membabarkan Anangana sutta mengunakan
metode pengajaran Dhamma dengan pengetahuan tinggi, dengan cara
memperlihatkan bukti ketika mengajar para siswa, agar para siswa memiliki
pengetahuan dan pandangan benar (Abhinnaya-Dhammadesana) (M.II.398).
Cara penanggalan noda batin
dalam Vatthupama sutta, Buddha membabarkan tentang pencapaian tingkat
kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda
batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah
ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin, orang
memilik keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204).
Buddha selalu melihat kondisi
batin siswa, waktu dan kemampuan para pendengarnya dalam memberikan ajarannya
sehingga sering ditemukan beberapa Sutta yang membahas pokok persoalan
yang sama tetapi dalam sudut pandang dan penyajian yang berbeda. Pemahaman
kritis terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Buddha maupun siswa
utamanya merupakan usaha untuk melestarikan Dhamma.
Kelestarian ajaran dapat bertahan dan
bertambah apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Buddha mengajarkan cara mempertahankan kebenaran kepada Bharadvaja
dengan cara memiliki kepercayaan, kesukaan, kondisi, memperbedakan tentang
bukti dan merenungkan suatu pandangan mengakibatkan kebenaran dapat terjaga (M.I.173).
Buddha mengajarkan kepada suku
Kalama tentang penyelidikan ajaran, untuk memahami kebenaran yang menghasilkan
manfaat berupa kebahagiaan Buddha bersabda:
“Jangan percaya begitu saja
terhadap berita yang disampaikan kepadamu atau oleh karena sesuatu yang sudah
merupakan tradisi atau sesuatu yang desas-desuskan, jangan percaya begitu saja
apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai dengan
logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang kelihatannya cocok dengan
pandanganmu, atau karena ingin menghormati seorang petapa yang menjadi gurumu
... tetapi, terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri.” (A.I.189).
Noda batin (kilesa)
dalam berbagai bentuk seperti napsu, kemunafikan, kesombongan, kecemasan, keras
kepala, kepuasan diri, kemalasan, karena tidak tahu malu cenderung menciptakan
pikiran tidak bajik (Nanasampanno, 2005:179). Bagi manusia yang dapat
mengetahui dan melihat, ‘Ini adalah dukkha, asal mula dukkha, berbentinya
dukkha dan jalan menuju penghentian dukkha, terjadi penghancuran
noda-noda. (It.103).
Anangana Sutta dibabarkan oleh Bhikkhu Sariputta kepada para Bhikkhu di Savatthi hutan Jeta,
taman Anathapindika, berkenaan dengan penjelasan tentang penghentian semua noda
batin (asava). Buddha menyatakan bahwa hancurnya noda-noda adalah bagi
orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan
melihat, yaitu perhatian yang bijaksana (yoniso manasikara) dan
perhatian yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara) (M.I.175).
Penjelasan noda-noda
ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian bijaksana
dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai noda nafsu
indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda kebodohan (avijjasava),
pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca), kemelekatan
terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan, kegelisahan,
nafsu indera, niat jahat, kekejaman, nafsu keinginan, belenggu-belenggu, dan
kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin seharusnya ditinggalkan dengan
dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava), (2) pengendalian
diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4) penahanan (adivasana),
(5) penghindaran (parivajjana), (6) penghapusan (vinodana),
(7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman
Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda
batin (cittassa-uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat,
kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan,
kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan
kelalaian (M.I.201-202). Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara
bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya,
serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan
telah meninggalkan kekotaran batin, orang memilik keyakinan kepada Buddha,
Dhamma dan Sangha (M.I.203-204) merasa bahagia dan pikirannya
pun terkonsentarasi.
“Bukan emas ataupun uang dapat
melenyapkan noda-noda batin. Nafsu-nafsu keinginan inderawi adalah musuh-musuh
dan para pembunuh, anak panah beracun, dan tali pengekang yang keras “(Thig.357).
Penegasan ulang dinyatakan
Buddha bahwa bhikkhu memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, tidak
akan terpengaruh oleh hal-hal duniawi seperti makan dan makanan. Kemudian
mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihara) ke segala penjuru
tanpa permusuhan dan niat jahat. Dan memahami, ada penderitaan, ada asal mula
penderitaan, ada Sang Jalan, dan ada jalan keluar dari penderitaan. Dikatakan
dengan mengetahui dan melihat (nanadasana) pikiran terbebas dari noda
nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), dan noda
kebodohan batin (avijjasava) (M.I.205).
Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta sama-sama
menjelaskan bagaimana penanggalan noda batin namun demikian terdapat
perbedaan-perbedaan unik di dalamnya. Perbedaan penanggalan noda batin dalam Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta dapat menimbulkan pemahaman yang salah terhadap
ajaran apabila tidak diteliti dan dipahami secara benar. Ketelitian dan
kejelian diperlukan agar terhindar dari pemahaman yang keliru. Perbedaan cara
mengajar, pendengar, jumlah noda batin, dan cara penanggalan noda batin,
merupakan alasan yang mendasar dalam peneliti untuk mengkaji Penanggalan Noda
Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama Sutta.
B. PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA SUTTA DAN VATTHUPAMA SUTTA
1.
Konsep Noda Batin
Noda batin
(kilesa) dalam berbagai bentuk seperti napsu, kemunafikan, kesombongan,
kecemasan, keras kepala, kepuasan diri, kemalasan, karena tidak tahu malu
cenderung menciptakan pikiran tidak bajik (Nanasampanno, 2005:179). Bagi
manusia yang dapat mengetahui dan melihat, ‘Ini adalah dukkha, asal mula
dukkha, berbentinya dukkha dan jalan menuju penghentian dukkha,
terjadi penghancuran noda-noda. (It.103-4).
Penanggalan
berasal dari kata tanggal, artinya terlepas atau kelupas, lulus, lucut.
Menanggalkan yang berarti membuka, melepaskan, proses cara perbuatan
menanggalkan (Tim Penyusun, 2001:1137). Dalam Vatthupama-sutta noda
batin yang dimaksud meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam,
penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras
kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.202-203).
Bhikkhu
Sariputta menjelaskan kepada para Bhikkhu dalam anangana sutta ada empat
macam individu yaitu 1) individu mempunyai kekotoran batin tetepi tidak
menyadarinya, 2) individu mempunyai kekotoran batin dan menyadarinya, 3)
individu tidak mempunyai kekotoran batin dan tidak mengetahuinya, 4) individu
tidak mempunyai kekotoran batin dan mengetahuinya (M.I.24-25).
Buddha
menjelaskan kepada Nigroda ada beberapa hal yang tidak baik, jahat, tidak disingkirkan,
segala sesuatu bersangkutan dengan kekotoran batin. Untuk melenyapkan ini
semua, maka aku akan mengajarkan Dhamma
berlakulah hidup sesuai Dhamma, maka segala sesuatu yang bersangkutan
dengan kekotoran batin akan dilenyapkan, sesuatu yang baik harus dikembangkan,
siapapun, baik kini atau kelak, mampu mencapai dan menghayati dengan penuh
kebijaksanaan (D.III.56-57).
Seluruh
latihan (Sikkha) dalam agama Buddha bertujuan untuk mensucikan batin.
Apabila kesucian batin telah sempurna dikembangkan tercapailah nibbana.
Batin yang telah dikembangkan dengan sempurna oleh panna, akan
melenyapkan kekotoran batin (D.II.81).
Manusia
yang telah terbebas dari kekotoran batin mencapai tingkat kesucian Arahatta
Phala disebut sebagai manusia yang telah mencapai nibbana, pencapaian
nibbana yaitu berakhirnya segala bentuk penderitaan, sembilan hal yang
harus dihilangkan untuk mencapai realitas arahata phala yaitu nafsu,
niat jahat, kebodohan, kemarahan, dendam, tidak berterimakasih, irihati,
kecemburuan, dan kepicikan. (A.IX.2).
Manusia
bijaksana yaitu manusia yang telah memutuskan kekotoran batin, tidak akan
terlahir kembali disebut dengan manusia kelahiran agung dan membawa kebahagiaan
semua makhluk. Manusia bijaksana telah memutuskan kekotoran batin dan
kemelekatan tidak akan masuk kerahim manapun, manusia bijaksana terbebas dari
tiga dorongan yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin serta tidak
masuk kelumpur. Pikiran konseptual disebut manusia dengan kelahiran agung (Sn.632).
Masalah
yang dihadapi manusia sebenarnya muncul dan bersumber dari diri manusia sendiri
keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin merupakan kekotoran batin (M.I.191).
Jika sesuatu menyenangkan, manusia mulai beraksi dengan suka, menyebabkan
berkembangnya nafsu keinginan, kemelekatan (raga). Jika sesuatu tidak
menyenangkan, manusia beraksi dengan ketidaksukaan, berkembang menjadi
penolakan, kebencian. Pikiran senantiasa dipenuhi dengan kebodohan (moha),
nafsu keinginan (lobha), kebencian (dosa), semua kekotoran batin
berakar dari tiga penyebab dasar ini dan membuat manusia menderita Datang dan
hiduplah dengan pintu-pintu indera yang terjaga, pikiran yang terkendali yang
sesuai dengan pedoman, sadar dan selalu diawasi’ (A.III.137).
Buddha memberikan petunjuk untuk memberikan
petunjuk untuk menjalani hidup yang lebih baik, mulia dan bahkan untuk mencapai
kebebasan dari penderitaan. Memiliki pandangan atau pengertian sesuai dengan Dhamma,
akan cenderung mengarahkan diri kedunia lebih baik dan tidak mudah dipengaruhi
oleh hal negatif, Mempraktekan Dhamma dengan baik, ia telah menanam benih untuk
mencapai kebebasan dari kekotoran batin (kilesa). “Dengan cara yang sama
bagi seorang murid tak tergoyahkan keyakinannya pada Buddha, dhamma, sangha.
Menpunyai kebajikan seperti Bhagava, hal itu akan membawanya melaju dan
mencapai pantai seberang dan melaju kepada lenyapnya kekotoran batin” (S.V.396).
2.
Noda Batin dalam Anangana sutta
Anangana
Sutta dibabarkan oleh
Bhikkhu Sariputta kepada para Bhikkhu di Savatthi hutan Jeta, taman
Anathapindika, berkenaan dengan penjelasan tentang penghentian semua noda batin
(asava). Buddha menyatakan bahwa hancurnya noda-noda adalah bagi orang
yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan
melihat, yaitu perhatian yang bijaksana (yoniso manasikara) dan
perhatian yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara) (M.I.175).
Bhikkhu
Sariputta menjelaskan kepada para bhikkhu dengan mengumpamakan empat jenis
orang yaitu: 1) Orang mempunyai kekotoran batin tetapi tidak menyadarinya, 2)
orang mempunyai kekotoran batin dan menyadarinya, 3) orang tidak mempunyai
kekotoran batin dan tidak mengetahuinya, 4) orang tidak mempunyai kekotoran
batin dan mengetahuinya (M.I.24-25).
Bhikkhu
Sariputta menjelaskan orang yang memiliki noda namun tidak memahaminya “Di
sini, orang yang memiliki noda namun tidak memahaminya sebagaimana adanya Aku
memiliki noda didalam diriku disebut yang lebih rendah dari antara kedua orang
yang memiliki noda itu. Di sini, orang yang memiliki noda namun memahaminya
sebagaimana adanya, Aku memiliki noda di dalam diriku disebut yang lebih tinggi
dari antara kedua orang yang memiliki noda itu. Di sini orang yang tanpa noda
namun tidak memahaminya sebagaimana adanya demikian, Aku tidak memiliki noda’
di sebut yang lebih rendah dari antara kedua orang yang tanpa noda itu. Di
sini, orang yang tanpa noda namun memahaminya sebagaimana adanya demikian, Aku
tidak memiliki noda di sebut yang lebih tinggi dari antara kedua orang tanpa
noda itu” (M.I.25).
Penjelasan
noda-noda ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian
bijaksana dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai
noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda
kebodohan (avijjasava), pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca),
kemelekatan terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan,
kegelisahan; nafsu indera, niat jahat, kekejaman; nafsu keinginan,
belenggu-belenggu, dan kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin
seharusnya ditinggalkan dengan dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava),
(2) pengendalian diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4)
penahanan (adivasana), (5) penghindaran (parivajjana), (6)
penghapusan (vinodana), (7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Penegasan
ulang dinyatakan Buddha bahwa Bhikkhu memiliki moralitas, konsentrasi, dan
kebijaksanaan, tidak akan terpengaruh oleh hal-hal duniawi seperti makan dan
makanan. Kemudian mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihara) ke
segala penjuru tanpa permusuhan dan niat jahat. Dan memahami, ada penderitaan,
ada asal mula penderitaan, ada Sang Jalan, dan ada jalan keluar dari
penderitaan. Dikatakan dengan mengetahui dan melihat (nanadasana)
pikiran terbebas dari noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava),
dan noda kebodohan batin (avijjasava) (M.I.205).
Noda batin
dapat muncul dalam diri individu yang masih diliputi keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) keirihatian
merupakan salah satu bagian dari noda batin halus (upakilesa) (M.I.36-37).
Cara Penangalan Kekotoran Batin dalam Anangana Sutta, Bhikkhu Sariputta
membabarkan Anangana Sutta kepada para Bhikkhu dengan mengunakan empat
perumpamaan, Bhikkhu Sariputta menjelaskan cara untuk menangalkan noda batin
dengan. Mengerahkan usaha atau membangkitkan energi untuk meningalkan noda
batin, membangkitkan semangat, dan tidak akan memperhatikan tanda keindahan.
Bhikkhu Sariputta membabarkan anangana sutta mengunakan metode
pengajaran mengajarkan Dhamma dengan pengetahuan tinggi, dengan cara
memperlihatkan bukti ketika mengajar para siswa, agar para siswa memiliki
pengetahuan dan pandangan benar (Abhinnaya-Dhammadesana) (M.II.398).
3.
Noda Batin Dalam Vatthupama-Sutta
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman
Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda
batin (cittassa-uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat,
kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan,
kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan
kelalaian (M.I.201-202). Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara
bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya,
serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan
telah meninggalkan kekotaran batin, orang memilik keyakinan kepada Buddha,
Dhamma dan Sangha (M.I.203-204) merasa bahagia dan pikirannya
pun terkonsentarasi.
“Bukan emas ataupun uang dapat
melenyapkan noda-noda batin. Nafsu-nafsu keinginan inderawi adalah musuh-musuh
dan para pembunuh, anak panah beracun, dan tali pengekang yang keras “(Thig.357).
Buddha
menerangkan kepada para Bhikkhu tentang perbedaan antara batin yang tercemar
dan keadaan batin yang bersih tanpa noda Buddha mengumpamakan dengan tiga
perumpamaan: 1) sepotong kain kotor dan ternoda dicelupkan dalam pewarna, maka
kain itu akan tetap jelek, tidak cemerlang, artinya jika individu mempunyai
pikiran kotor yang diliputi dengan keinginan jahat maka individu tersebut akan
menerima hasil yang tidak menyenangkan, 2) sepotong kain bersih dan terang
dicelupkan ke dalam pewarna maka kain itu akan nampak lebih indah dan
cemerlang. Artinya jika individu mempunyai pikiran bersih dan mampu menyerap Dhamma
maka individu akan memperoleh hasil yang menyenangkan, 3) sepotong kain kotor
dan ternoda menjadi cerah bila dicuci dengan air bersih. Artinya jika individu
mengembangkan sila, samadhi, panna maka batinnya akan bersih.
Buddha menjelaskan, terdapat enam belas macam
kekotoran batin yaitu: Kekotoran batin yang mengotori pikiran (Citta-upakilesa),
ketamakan dan keserakan (Abhijjasama lobha), niat jahat (Byapada),
kemarahan (Kodha), mudah tersinggung (Upanaha),penghinaan (Makkha),
sikap menguasai (Palasa), iri hati (Issa), keras kepala (Thambha),kepongahan
(Sarambha), kesombongan (Mana), arogansi (Atimana),
keangkuhan (Mada), dan kelalaian (Pamada) (M.I.36).
4.
Penegasan Konsep Penanggalan
Penanggalan
berasal dari kata tanggal, artinya terlepas atau kelupas, lulus, lucut.
Menanggalkan yang berarti membuka, melepaskan, proses cara perbuatan
menanggalkan (Tim Penyusun, 2001:1137). Dalam Vatthupama-sutta noda
batin yang dimaksud meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam,
penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras
kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.202-203).
Penjelasan
noda-noda ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian
bijaksana dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai
noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda
kebodohan (avijjasava), pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca),
kemelekatan terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan,
kegelisahan; nafsu indera, niat jahat, kekejaman; nafsu keinginan,
belenggu-belenggu, dan kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin
seharusnya ditinggalkan dengan dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava),
(2) pengendalian diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4)
penahanan (adivasana), (5) penghindaran (parivajjana), (6)
penghapusan (vinodana), (7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Buddha
menerangkan kepada para Bhikkhu tentang perbedaan antara batin yang tercemar
dan keadaan batin yang bersih tanpa noda Buddha mengumpamakan dengan tiga
perumpamaan: 1) sepotong kain kotor dan ternoda dicelupkan dalam pewarna, maka
kain itu akan tetap jelek, tidak cemerlang, artinya jika individu mempunyai
pikiran kotor yang diliputi dengan keinginan jahat maka individu tersebut akan
menerima hasil yang tidak menyenangkan, 2) sepotong kain bersih dan terang
dicelupkan ke dalam pewarna maka kain itu akan nampak lebih indah dan
cemerlang. Artinya jika individu mempunyai pikiran bersih dan mampu menyerap Dhamma
maka individu akan memperoleh hasil yang menyenangkan, 3) sepotong kain kotor
dan ternoda menjadi cerah bila dicuci dengan air bersih. Artinya jika individu
mengembangkan sila, samadhi, panna maka batinnya akan bersih.
C. PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA SUTTA DAN VATTHUPAMA SUTTA
1.
Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana
sutta
Buddha
memberikan ajarannya kepada para siswa dengan melihat kondisi batin para siswa
pada saat itu sehingga ajaran Buddha akan mudah untuk diterima oleh para siswa
dan dapat memberikan manfaat berupa kebahagiaan, pengetahuan yang luas dan rasa
puas dengan ajaran Buddha.
a.
Penanggalan Noda Batin dengan
membangkitkan semangat
Noda dalam Anangana
Sutta diartikan sebagai keinginan-keinginan jahat dan tak bajik. Keinginan
tak bajik adalah curang, licik, berbahaya, congkak, kosong, pribadinya
tak-berisi, berlidah tajam, berbicara tanpa-pikir mereka tidak terjaga di dalam
kemampuan indera mereka, tidak sederhana dalam makan, tidak mengapdi untuk
pencerahan, tidak peduli dengan kehidupan petapa, tidak memiliki rasa hormat
terhadap pelatihan, bermewah-mewah, sembrono, pemimpin dalam menghasut,
mengabaikan kesendirian, malas, tidak sepenuhnya sadar, tidak terkonsentrasi,
pikirannya terkonsentrasi, pikirannya mengembara, kurang kebijaksanaan, orang
yang ucapannya tidak berguna (M.I.25).
Noda batin
dapat dihilangkan dengan membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, dan
membangkitkan energi untuk meninggalkan noda sehingga individu mati tanpa
nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, tanpa noda dan dengan pikiran
yang tidak kotor. Di umpamakan sebuah pinggan perunggu dibawa dari toko dalam
keadaan tertutup kotoran dan noda, dan pemiliknya membersihkan serta tidak
menaruhnya di sudut yang berdebu (M.I.26).
Usaha atau
semangat adalah perbuatan yang dilakukan oleh badan, ucapan, maupun pikiran
yang teguh serta bersih dalam melakukan pekerjaan, baik yang bersifat jasmaniah
maupun rohaniah. Usaha atau semangat merupakan pemberi dorongan untuk
tahan terhadap penderitaan, teguh dalam pendirian dan bertanggung jawab atas
tugas serta kewajiban yang dilimpahkan. Membebaskan diri sendiri dari semua
belenggu batin terletak pada usaha
sendiri dan bukan pada kemampuan orang lain baik manusia biasa ataupun makhluk
suci. Sang buddha yang paling agung pun tidak bisa membebaskan manusia dari
kotoran batin, kecuali hanya sekedar ‘menunjukan jalan’ jalan itu adalah sīla,
samadhi dan pañña. Perjuangan harus engkau laksanakan sendiri sang Tathagata
hanya penunjuk jalan orang yang melaksanakan meditasi, yang mengalami jalan ini
akan terbebas dari jerat dan cengkraman Mara (Dh.276).
Pengendalian pikiran tidak selalu berupa
latihan formal dengan meditasi, tapi dari setiap kegiatan yang dilakukan dapat
menjadi latihan pengendalian pikiran. Pengendalian pikiran yang terpenting
bukanlah tempat di mana seseorang berlatih, tetapi pengembangan kesadaran
itulah yang terpenting. Melakukan berbagai aktivitas sehari-hari seseorang
hanya perlu sadar dan waspada dengan apa yang dilakukan, perasaan apa yang
dirasakan dengan sendirinya dapat melatih pikiran.
Semangat dan
usaha keras dicontohkan oleh Bhikkhu Culapanthaka. Culapanthaka adalah
seorang Bhikkhu yang tidak cerdas. Bhikkhu Culapanthaka
bersaudara dengan Bhikkhu Mahapanthaka yang cerdas. Mahapanthaka tidak
memasukkan Culapanthaka dalam daftar Bhikkhu yang di undang oleh Jivaka
tabib Buddha Gotama untuk menerima dana makan siang karena malu. Culapanthaka
kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah tangga.
Buddha membawa dan menyusuh Culapanthaka duduk di depan gandhakuti setelah
mengetahui keinginan tersebut. Buddha memberikan selembar kain bersih kepada
Culapanthaka menyuruhnya duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain
tersebut sambil mengulang kata rajoharanam yang berarti kotor.
Culapanthaka mengulang kata rajoharanam hingga kain menjadi kotor.
Pemahaman
tentang ketidakkekalan segala sesuatu yang berkondisi muncul setelah
memperhatikan kain yang perlahan berubah menjadi kotor karena digosok-gosok.
Culapanthaka merealisasi kesucian tingkat arahat dengan memiliki ‘pandangan
tentang analitis’ sehingga Culapanthaka tidak lagi dungu. Culapanthaka juga
memiliki kekuatan supranatural yaitu mampu merubah diri menjadi banyak. Buddha
menegaskan bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan
mencapai tingkat kesucian arahat “melalui usaha yang tekun, semangat, disiplin,
dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya
sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir (Dh.25).
b.
Penanggalan noda batin dengan mengerahkan
usaha
Usaha benar
dalam menumbuhkan semangat menfokuskan energi pikiran pada kondisi mental seseorang. Tujuannya adalah untuk
mengurangi, bahkan menghilangkan pikiran tidak bermanfaat (akusala) dan
untuk meningkatkan dan menghasilkan pikiran bermanfaat (kusala) yang
kokoh sebagai sifat alami dan karakteristik integral dari kondisi mental
individu. Tekad dan semangat berperan utama dalam keberhasilan kerja, tekad dan
semangat menghasilkan sumber daya manusia berkualitas unggul yang memiliki
sikap positif seperti sabar, ulet, tekun, loyal, kreatif, kerja keras, dan
kekuatan menghadapi berbagai hambatan dalam bekerja. Perilaku positif
dihasilkan melalui dua jalan yaitu tidak merasa puas hati dengan apa yang telah
dicapai dan tidak mengendurkan usaha dalam mencapai tujuan (A.II.5).
Usaha benar
berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat positif dan antusias dalam hal-hal
yang kita lakukan, baik dalam karir kita, studi kita, atau dalam praktek Dhamma
kita. Dengan antusiasme terus- menerus dan tekad yang ceria semacam itu,
kita akan sukses dalam hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek Usaha Benar,
dua aspek mengenai kejahatan dan dua lainnya mengenai kebaikan. Pertama, adalah
usaha untuk menolak kejahatan yang telah muncul, kedua usaha untuk mencegah
munculnya kejahatan. Ketiga, adalah usaha untuk mengembangkan kebaikan yang
belum muncul, dan keempat, usaha untuk memelihara kebaikan yang telah muncul.
Dengan menerapkan Usaha Benar dalam hidup kita, kita dapat mengurangi dan
akhirnya menghapuskan keadaan mental yang buruk serta meningkatkan dan
memantapkan pikiran yang sehat sebagai hal yang alamiah dalam pikiran kita.
Pengendalian
diri melalui usaha yaitu untuk menghindari dan menakhlukkan keserakahan, kebencian
dan kebodohan serta mengembangkan dan memelihara sesuatu yang baik (A.IV.162).
Usaha yang paling mulia bagi umat manusia adalah usaha untuk menghindari segala
bentuk kejahatan yang belum dilakukan, tidak lagi mengulang perbuatan jahat
yang penuh dilakukan, berusaha untuk melakukan kebaikan dan memelihara kebaikan
yang telah dimiliki (Dh.23-24).
Usaha benar (Samma
vayama), merupakan usaha yang keras untuk (a) mencegah timbulnya
pikiran-pikiran jahat yang belum ada atau timbul (samvara), (b) membuang
pikiran-pikiran jahat yang telah muncul (pahana), (c) menghasilkan dan
mengembangkan pikiran-pikiran baik yang belum muncul (bhavana), dan (d)
meningkatkan dan mempertahankan pikiran-pikiran baik yang telah ada (anurakkhana)
(A.II.16).
Buddha
menyatakan bahwa, “siapapun yang selalu berusaha melalui semangat (attapi),
usaha (padhana), ketekunan (anuyoga), kewaspadaan (appamada)
dan pemikiran yang benar (sammamanasikara), maka ia dapat memusatkan
pikirannya” (DII.101)
.Buddha
membabarkan Dhamma berkenaan dengan usaha (padhana). Terdapat tujuh
faktor penerangan sempurna (Sattasambojjhanga), yaitu: kesadaran (sati
sambojjhanga), penelitian terhadap kebenaran (dhamma vicaya
sambojjhanga), semangat (viriya sambojjhanga), kegiuran (piti
sambojjhanga), konsentrasi (samadhi sambojjhanga), dan keseimbangan
batin (upekkha sambojjhanga) (D.II.106).
Empat
ketekunan usaha yang benar (samma vayama) merupakan syarat bagi
konsentrasi. Usaha benar berfungsi secara bersama-sama dan simultan dengan dua
unsur lain yaitu: perhatian benar dan konsentrasi benar. Usaha benar
menyingkirkan pikiran-pikiran yang jahat dan tidak sehat, yang merintangi
keterangan pencerapan dan meningkatkan serta memelihara faktor-faktor batin
yang sehat, membantu mengembangkan konsentrasi (Piyadasi, 2003:222).
Usaha benar (samma
vayama) adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan daya pikir yang sehat dan
berguna untuk mencapai suatu ketenangan, menghilangkan sifat keragu-raguan,
kekhawatiran, ketakutan dan kegelisahan yang timbul dalam diri manusia.
Memiliki usaha benar seseorang dapat mengurangi dan akhirnya manghapuskan
keadaan mental yang buruk serta meningkatkan dan memanfaatkan pikiran yang
sehat sebagai hal alamiah dalam pikiran manusia.
2.
Penanggalan Noda Batin dalam Vathupamma
Sutta
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman
Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda
batin (cittassa uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat,
kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan,
kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan
kelalaian (M.I.201-202).
Pencapaian
tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai
noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah
ditinggalkan. Dengan meninggalkan kekotaran batin, orang memiliki keyakinan
kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204). Merasa
bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
Noda Batin
dalam Vatthupama sutta dapat dicegah dan diatasi agar tidak berkembang
dengan memunculkan sifat-sifat baik dalam diri manusia, yang terdiri dari
Pengembangan empat Appamana, rajin dan bersemangat dalam mengembangkan
kewaspadaan, melatih ketenangan atau samatha, melaksanakan meditasi/vipassana (M.I.205).
Pengembangan empat Appamana yaitu keadaan yang tidak terbatas yang perlu
dikembangkan dalam pelaksanaan samadhi untuk menghilangkan noda-noda batin
dalam diri, sering juga disebut kediaman yang luhur (Brahma vihara) yang
terdiri dari cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati
bahagia (mudita),dan keseimbangan batin (uppekha).
Cinta kasih (metta)
adalah sifat luhur yang pertama yang berarti kemauan baik yang bebas dari
nafsu, cinta kasih kepada semua mahkluk, mengharap mereka semua berbahagia (D.I.9).
Cinta kasih yang dipancarkan adalah cinta kasih yang universal tanpa membedakan
apapun juga dan tanpa pamprih yang dipancarkan keseluruh penjuru. Sang Buddha
dalam setiap ajaran selalu menekankan kepada para siswa dan pengikutnya untuk
selalu mencarkan cinta kasih kepada semua makhluk. Tampak jelas bahwa kekuatan
cinta kasih dapat mengalahkan apapun juga, kekerasan, niat jahat dapat
dikendalikan dengan cinta kasih yang tulus, kalahkan kemarahan dengan cinta
kasih dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan (Dhp.233).
Sifat luhur
kedua yang dapat memuliakan manusia adalah kasih sayang (karuna), yang
dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat mengentaskan hati kearah rasa kasihan
bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan
atau menyelamatkan makhluk-makhluk lain sedang menderita, atau kehendak untuk
meringankan atau menyelamatkan makhluk-makhluk lain dari kondisi tersebut (D.I.9).
Hati
seseorang yang penuh kasih sayang lebih halus dan mulia. Ia tidak akan berhenti
dan belum merasa puas sebelum dapat meringankan hidupnya demi membebaskan orang
lain dari penderitaan. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup hanya
untuk dirinya sendiri, melainkan tidak hidup hanya untuk dirinnya sendiri,
melainkan untuk orangn lain. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang
lain tanpa mengharapkan balas jasa apapun.
Kasih sayang
harus dipancarkan kepada mereka yang sakit, yang jahat, yang miskin dan kepada
semua makhluk, orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, lobha dan bodoh
patut mendapat kasih sayang, sama halnya dengan orang-orang yang menderita
sakit jasmani. Mereka hendaknya tidak dibenci, dicemooh atau dihina, tetapi
kita harus menaruh kasihan kepada mereka karena mereka adalah orang yang sakit
dan cacat batinnya.
Simpati (mudita)
adalah suatu perasaan simpatik atas kegembiraan atau kesedihan orang lain.
Secara negatif itu menunjukkan pikiran yang bebas dari irihati atau kemauan
jahat (D.I.9). Individu senang mendengar kegagalan atau kesusahan orang
lain, tetapi merasa kurang senang melihat kemajuan orang lain. Mereka tidak mau
memuji atau memberi selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi mereka
berusaha mengacaukan, memfitnah, menjelekkan bahkan menaruh kebencian kepada
individu lain.
Salah satu
cara mengetasi perasaan irihati adalah mudita karena mudita dapat
mencabut akar-akar sifat irihati yang merusak. Manusia tidak hanya sukar untuk
bersimpati dengan keberuntungan musuhnnya, tetapi juga tidak dapat bergembira
melihat keuntungan kawannya. Mereka mulai mencari-cari alasan untuk
menghancurkan orang, melakukan pembakaran, peracunan, pembunuhan penembakan
adalah cara yang mereka tempuh untuk menghancurkan orang lain.
Upekkha menurut asal katanya dalam bahasa pali,
yaitu “upa” berarti “dekat” dan kata “ikh” berarti “melihat”. Upekkha
berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna : melihat dengan adil, tidak
berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harafiah upekkha dalam bahasa
pali, yaitu “upa” berarti “dekat” dan kata “ikh” berarti “melihat”. Upekkha
berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna : melihat dengan adil, tidak
berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harafiah Upekkha berarti :
pertimbangan yang lurus, pandangan yang adil yaitu tidak terikat atau benci,
tiodak ada rasa senang dan tidak senang (Narada, 1990:78).
Keseimbangan
adalah perasaan netral, bebas dari perasaan simpatik dimana perasaan simpatik
adalah tidak mungkin atau tidak dapat dilaksanakan, seperti membantu (mereka
yang membutuhkan atau mereka yang ada dalam bahaya) tidak mungkin dapat
dilaksanakan dan juga dimana suatu perasaan simpatik terhadap satu pihak akan
menimbulkan prasangka dan karena itu merugikan pada pihak lain. Kesucian ini berdasarkan
atas pengertian terhadap hukum kamma, akibat mengikuti sebab atau
memetik apapun yang telah ditanam sikap batin ini dianjurkan apabila, seperti
telah disebutkan sebelumnya, bantuan atau simpatik adalah tidak mungkin atau
tidak dapat dilaksanakan.
Upekkha diterjemahkan sebagai keseimbangan (baik
sebagai keadaan pikiran mulia maupun serbagai keadaan tidak terbatas). Upekkha
sebagai salah satu dari tiga macam perasaan yang diterjemahkan dengan
“kenetralan” (bukan menyenangkan dan bukan tidak menyenangkan) (D.I.9).
Keseimbangan
batin penting sekali terutama bagi manusia biasa yang hidup dalam dunia yang
penuh dengan segala fenomena kehidupan. Untung dan rugi, kemasyuran dan nama
buruk, ujuan dan celaan, kebahagiaan dan penderitaan adalah kondisi duniawi
yang dapat dihindarkan dalam kehidupan umat manusia. Pada umumnya manusia akan
menjadi bingung dan kacau bila mengalami keadaan yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan, merasa senang dipuji, dan merasa sedih dan tertekan bila dicela
atau dicaci maki. Sang Buddha bersabda : orang bijaksana tidak menunjukkan rasa
gembira maupun kecewa ditengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh
bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai. Demikianlah mereka
melatih dirinya dalam keseimbangan batin.
Rajin dan
bersemangat dalam mengembangkan
kewaspadaan diperlukan sebagai usaha untuk melenyapkan noda batin yang telah
muncul dalam diri individu. Dengan memiliki kewaspadaan individu dapat
menghilangkan gangguan-gangguan halus jasmani dan mental yang berhubungan
dengan kegembiraan dan kegiuran, akan membawa kesenangan yang tenang sehingga
pikiran siap untuk konsentrasi lebih mendalam.
Batin dapat
dikembangkan untuk mencapai ketenangan batin (samatha bhavana) melalui
pencapai jhana-jhana, dan untguk mencapai pandangan terang (vipassana
bhavana) melalui penembusan tilakkhana (anicca, dukkha dan
anatta). Untuk mencapai kedua macam pengembangan batin tersebut melalui
pelaksanaan samadhi atau meditasi, dengan cara memusatkan pikiran pada obyeknya
masing-masing. Sesungguhnya pencapaian jhana yang menimbulkan ketenangan
batin bukan merupakan tujuan terakhir, karena masih bersifat duniawi (lokiya),
tetapi sebagai sarana atau keadaan untuk mencapai pandangan terang yang
bersifat diatas atau diluar duniawi (lokuttara).
Konsentrasi
duniawi hanya dapat dikembangkan oleh orang yang telah kokoh silanya, memotong
apapun dari sepuluh penghalang (palibodha) yang ada pada dirinya,
mendekati dan berhubungan dengan sahabat yang baik (kalyanamitta), yang
dapat memberikan obyek meditasi yang cocok, harus memahami satu dari empat
puluh obyek meditasi yang sesuai dengan watyaknya, bertempat tinggal ditempat
yang mendukung pengembangan konsentrasinya, memotong penghalang-penghalang yang
lebih kecil tanpa melewatkan petunjuk apapun untuk suatu pengembangan batin.
D. ANALISIS PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA-SUTTA DAN VATTHUPAMA-SUTTA
1.
Perbedaan penanggalan noda batin dalam Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta
Studi
komparatif merupakan penelitian untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang
satu atau dua kejadian, benda, orang, prosedur, kerja, ide, kritik terhadap
orang dan kelompok (Arikunto, 1998:247-248).
Anangana-sutta
dan Vatthupama-sutta
membahas noda batin dalam penjelasan dan cara pandang yang berbeda. Perbedaan
merupakan metode dalam mendiskripsikan ajaran. Melalui penjelasan Buddha Gautama
dan Bhikkhu Sariputta secara terperinci maka dapat diperoleh konsep jelas
mengenai persamaan dan perbedaan noda batin dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta.
a. Perbedaan berdasarkan konsep
1)
Anangana-sutta
Y.M
Sariputta membabarkan Anangana-sutta kepada para Bhikkhu tentang
penanggalan noda batin dengan membangkitkan semangat serta semangat serta
mengerahkan usaha. Noda batin dapat dihilangkan dengan membangkitkan semangat,
mengerahkan usaha, dan membangkitkan energi untuk meninggalkan noda sehingga
individu mati tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, tanpa noda
dan dengan pikiran yang tidak kotor. Di umpamakan sebuah pinggan perunggu
dibawa dari toko dalam keadaan tertutup kotoran dan noda, dan pemiliknya
membersihkan serta tidak menaruhnya di sudut yang berdebu (M.I.26).
2)
Vatthupama-sutta
Buddha
menjelaskan tentang penanggalan noda batin dalam Vatthupama-sutta
melalui perumpamaan sepotong kain yang kotor dan ternoda. Penanggalan noda
batin dilakukan dengan penyebarkan pikiran dengan penuh cinta kasih kesemua
penjuru, dan menyebarkan pikiran yang dipenuhi kasih sayang kesegala penjuru (M.I.38).
b. Perbedaan berdasarkan metode pengajaran
1)
Anangana-sutta
Buddha
membedakan tingkat perkembangan manusia dalam 4 golongan (A.II.135). Pertama
jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah
muncul diatas permukaan air dan pasti akan mekar. Yang kedua, intelektual (vipancintannu),
seperti bunga teratai yang segera akan muncul diatas permukaan air. Yang
ketiga, individu yang dapat dilatih (neyyo) bagaikan bunga teratai yang
agak jauh didalam air, sehingga butuh waktu yang yang agak lama untuk muncul
diatas permukaan air. Yang keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo)
menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul diatas permukaan air (Wijaya
Mukti, 2003: 310). Perkembangan intelektual individu menentukan pemahaman
terhadap ajaran yang disampaikan, diperlukan waktu yang tepat untuk membabarkan
ajaran yang membutuhkan analisis dan ajaran yang mudah dijawab.
2)
Vatthupama-sutta
Ajaran
buddha terbuka untuk semua individu, namun sasaran pembabaran dhamma yang
pertama adalah individu yang hanya memiliki debu dimatanya. Dhamma sulit
dimengerti, pelik dan tidak mudah diterima oleh sembarang individu yang sangat
terbelenggu sebagai budak nafsu. Maka buddha mengambil kebijaksanaan dengan
memilih dan mendahulukan individu yang tergolong siap, sehingga mampu menangkap
ajaran dan terjalin dalam waktu singkat berhasil meraih pencerahan. Buddha
membuat perencanaan untuk mengajarkan dhamma (Wijaya Mukti, 2003:314).
Buddha
membabarkan Vatthupama-sutta melalui perumpamaan sepotong kain yang
kotor dan ternoda. Sepotong kain yang murni dan cerah kemudian dicelupkan dalam
satu pewarna, kain tersebut akan tercelup rata dan murni warnanya. Demikian
juga pikiran yang bersih mendapatkan tempat yang berbahagia.
c. Perbedaan berdasarkan esensi ajaran
1)
Anangana-sutta
Anangana
sutta di babarkan oleh
Bhikkhu Sariputta ketika berada di savatthi di hutan jeta, taman Anathapindika
bersama Buddha. Individu yang memiliki noda tetapi tidak memahami akan
membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, atau membangkitkan energi untuk
meninggalkan noda, maati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, dengan
noda, dengan pikiran yang kotor.
Individu
yang memiliki noda memahaminya dengan membangkitkan semangat, mengerahkan
usaha, dan emmbangkitkan energi untuk meninggalkan noda, mati tanpa nafsu,
tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan batin, tanpa noda, dan dengan pikiran yang
kotor (M.I.25).
2)
Vatthupama Sutta
Buddha
membabarkan Vathupama-sutta ketika berada di Savatthi di hutan Jeta,
taman Anathapindika. Ketamakan dan keserakahan merupakan kekotoran yang menodai
pikiran, sehingga bhikkhu Meninggalkan lewat penghapusan (samucchedappahana)
yaitu pencabutan akar seluruhnya lewat jalan diatas duniawi. Enam belas
kekotoran batin ditinggalkan lewat jalan-jalan mulia, jalan pemasuk arus
meninggalkan penghinaan, sikap menguasai, iri hati, keserakahan, menipu, tidak
jujur. Jalan yang tidak kembali lagi meninggalkan niat jahat, kemarahan, dendam
dan kelalaian. Jalan tingkat Arahat meninggalkan keinginan memiliki milik
individu lain, keserakahan yang tidak benar, kekeraskepalaan, kecongkaklan,
kesombongan, arogansi dan keangkuhan.
Penaggalan
Noda batin dilakukan dengan melepas, menghalau, membebaskan, meninggalkan, dan
penghapuskan kekotoran batin. Memiliki keyakinan yang sempurna pada Buddha,
Dhamma, dan Sangha. Ketika pikiran telah terbebas darai noda nafsu indera,
dari noda dumadi, dan noda kebodohan batin. Ketika pikiran terbebas, disana
muncul pengetahuan.
2.
Persamaan Penanggalan Noda batin dalam Anangana-sutta
dan Vathupamma-sutta
Anangana-sutta dan Vathupama-sutta terdapat dalam
Sutta Pitaka kotbah menengah (majjhima nikaya) pada bagian (Nikaya)
yang pertama (mulapannasa) bagian (mulapariyaya) sutta ke
lima dan sutta ke tujuh. Anangana-sutta dan Vathupama-sutta
memberikan gambaran cara menaggalkan noda batin melalui melepas, menghalau,
membebaskan, meningggalkan, dan menghapuskan kekotoran batin. Persamaan
mendasar antara Anangana-sutta dan Vathupama-sutta terletak pada
tempat pembabaran yaitu Hutan Jeta, taman milik Anathapindika, di Savatthi. Kedua sutta
sama-sama membahas tentang penaggalan noda batin yang harus dihapuskan untuk
mencapai nibbana.
E. PENUTUP
Penaggalan
noda batin dalam Anangana sutta dan Vathupama sutta dijelaskan
menggunakan cara pandang yang berbeda. Anangana sutta menekankan pada
empat jenis manusia yang dapat menaggalkan noda batin dengan cara masing-masing
yaitu melalui pembangkitan semangat dan mengerahkan usaha, membangkitkan energi
untuk meninggalkan noda. Noda batin dalam Anangana sutta diartikan
sebagai keinginan-keinginan yang jahat atau tak bajik yang perlu ditinggalkan.
Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda
batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin
telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin,
orang memiliki keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. merasa
bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
Sedangkan Vatthupama
sutta menekankan pada penaggalan noda batin. Pikiran yang bersekutu dengan
kebodohan dan kemalasan akan menimbulkan munculnya pikiran negatif (akusala
citta), sehingga mudah melakukan kejahatan atau perbuatan
tercela. Pikiran selalu diliputi dengan
kebodohan (moha cetasika) tidak dapat membedakan baik dan buruk,
benar dan salah, tidak mampu membuat keputusan sendiri, selalu mengikuti
pendapat orang lain baik dalam mengkritik dan memuji orang lain.
Melalui hasil dari penelitian ini, penulis menyarankan agar setiap manusia
hendaknya mengembangkan perhatian dan kewaspadaan terhadap segala hal yang
dapat menumbuhkan kemajuan batin. Perkembangan dan kemajuan batin akan dapat
terealisasi apabila individu telah menaggalkan noda batin, maka setiap individu
harus menumbuhkan keyakinan dan semangat
dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dan mengarahkan pikiran pada hal-hal yang
baik dan bermanfaat.
Bagi Samana
dan perumah tangga, dapat melaksanakan kesempatan mulia dalam menjalankan
praktek-praktek luhur, meliputi usaha pemahaman ajaran secara teoritis (pariyati),
praktek ajaran (patipati), sehingga mampu menanggalkan noda batin untuk
dapat mencapai kebahagiaan pada kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan
datang.
Bagi peneliti lain, penulis harapkan dapat melakukan
penelitian yang lebih mendalam dengan
menggunakan metode yang lain dan untuk lebih fokus dalam menganalisa berbagai
kualitas manusia sesuai dengan perubahan kehidupan yang terjadi secara
bertahap. Analisis dapat disesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan berdasarkan nilai kemanusiaan dan Dhamma.
BOLEH DICOPY TINGGALKAN KOMENTARNYA YA....
DAFTAR RUJUKAN
Ańguttara-Nikāya (The Book of the Gradual
Sayings) (Ones, Twos,
Threes) Woodward, F. L. (Transl.). 1989. Oxford: Pali Text Society.
Anguttara-Nikaya (The Book of the Gradual Sayings) Vol.
II (The Book of the Fours) Woodward, F.L. (Transl.). 1982. London &
Boston: Pali Text Society.
Dhammapada (The Word of the Doctrine). Norman, K.R. (Transl.). 2000. Oxford:
Pali Text Society.
Itivuttaka. Ireland, Jhon D. (Transl.). 1998. Diterjemahkan
oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati. Bandung: Lembaga Anagarini
Indonesia.
Kitab Suci Udāna (Kotbah-kotbah Inspirasi Buddha). Diterjemahkan
oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati. 1995. Yogyakarta: Vidyasena.
Majjhima-Nikāya (The Middle Length
Sayings) Vol. I1 Horner,
I.B. (Transl).. Oxford: PTS.
Ñānamoli & Bodhi Bikkhu. (Transl.).
2004. Majjhima Nikāya (The
Middle Length Discourses of the Buddha) 1. Diterjemahkan ke
Indonesia oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati Klaten: Vihāra Bodhivaŋa
& Wisma Dhammaguna.
Ñānamoli, Bhikkhu (Transl.). 2006. Khuddakapatha
(The Minor Reading) Jilid 2. Diterjemahkan oleh Wena C. &
Lenny A. Klaten: Wisma Sambodhi.
Piyadasi, Mahatera. 2003. Spektrum
Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Wijaya-Mukti K. 2003. Wacana Buddha
Dhamma. Jakarta: Sewindu Ekayana Buddhis Centre.
Ikutan posting ya
BalasHapus