Minggu, 15 April 2012

ANALISIS PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA-SUTTA DAN VATTHUPAMA-SUTTA

ANALISIS PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA-SUTTA DAN VATTHUPAMA-SUTTA

A.    PENDAHULUAN

Ajaran Buddha memberikan petunjuk untuk menjalani hidup yang lebih baik, mulia dan bahkan untuk mencapain kebebasan dari penderitaan. Memiliki pandangan atau pengertian sesuai dengan Dhamma, akan cenderung mengarahkan diri kedunia lebih baik tidak mudah dipengaruhi oleh hal negatif, Mempraktekan Dhamma dengan baik, ia telah menanam benih untuk mencapai kebebasan dari noda batin (kilesa). “ Dengan cara yang sama bagi seorang murid tak tergoyahkan keyakinannya pada Buddha, Dhamma, Sangha. Mempunyai kebajikan seperti Bhagava, hal itu akan membawanya melaju dan mencapai pantai seberang dan melaju kepada lenyapnya kekotoran batin” (S.V.396).
Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta bertujuan untuk mendapatkan pengertian yang jelas dan konkrit mengenai konsep Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta. Usaha penelaahan Penanggalan Noda Batin ini, dimaksudkan untuk mendapatkan pengertian yang jelas mengenai konsep Penanggalan Noda Batin, cara penanggalan yang disajikan pada  waktu dan orang yang berbeda serta mengetahui keabsahan dari cara Buddha mengajarkan Dhamma yang berdasarkan pada kondisi batin para siswa.
Usaha mengkaji konsep Penanggalan Noda Batin akan dapat menimbulkan pengetahuan tentang cara Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta, sehingga menjadi suatu penelitian yang dapat diterapkan untuk berusaha menanggalkan Noda Batin berdasarkan kapasitas diri sendiri.
Sulit menemukan manusia yang mau menganalisa sutta-sutta dari Buddhisme khususnya Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta. Hal ini berawal dari kemalasan untuk mengembangkan pengetahuan dan anggapan bahwa sutta-sutta ajaran Buddha semuanya sama dan tidak menarik untuk dikaji.
Mengenai konsep Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta dijelaskan oleh Buddha di dalam khususnya Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta. Peneliti tertarik dan merasa tertantang untuk menganalisa perbedaan cara mengajar Buddha berdasarkan kondisi batin setiap para siswa khususnya Penanggalan Noda Batin Dalam Anagana-sutta dan Vatthupama-sutta.
 Cara Penanggalan Kekotoran Batin dalam Anangana Sutta, Bhikkhu Sariputta membabarkan Anangana Sutta kepada para bhikkhu dengan menggunakan empat perumpamaan, Bhikkhu Sariputta menjelaskan cara untuk menanggalkan noda batin dengan, (1) mengerahkan usaha atau  membangkitkan energi untuk meningalkan noda batin, (2) membangkitkan semangat, (3) tidak akan memperhatikan tanda keindahan. Bhikkhu Sariputta membabarkan Anangana sutta mengunakan metode pengajaran Dhamma dengan pengetahuan tinggi, dengan cara memperlihatkan bukti ketika mengajar para siswa, agar para siswa memiliki pengetahuan dan pandangan benar (Abhinnaya-Dhammadesana) (M.II.398). 
Cara penanggalan noda batin dalam Vatthupama sutta, Buddha membabarkan tentang pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin, orang memilik keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204).
Buddha selalu melihat kondisi batin siswa, waktu dan kemampuan para pendengarnya dalam memberikan ajarannya sehingga sering ditemukan beberapa Sutta yang membahas pokok persoalan yang sama tetapi dalam sudut pandang dan penyajian yang berbeda. Pemahaman kritis terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Buddha maupun siswa utamanya merupakan usaha untuk melestarikan Dhamma.
 Kelestarian ajaran dapat bertahan dan bertambah apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Buddha mengajarkan cara mempertahankan kebenaran kepada Bharadvaja dengan cara memiliki kepercayaan, kesukaan, kondisi, memperbedakan tentang bukti dan merenungkan suatu pandangan mengakibatkan kebenaran dapat terjaga (M.I.173).
Buddha mengajarkan kepada suku Kalama tentang penyelidikan ajaran, untuk memahami kebenaran yang menghasilkan manfaat berupa kebahagiaan Buddha bersabda:
“Jangan percaya begitu saja terhadap berita yang disampaikan kepadamu atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi atau sesuatu yang desas-desuskan, jangan percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu, atau karena ingin menghormati seorang petapa yang menjadi gurumu ... tetapi, terimalah kalau engkau sudah membuktikannya sendiri.” (A.I.189).

Noda batin (kilesa) dalam berbagai bentuk seperti napsu, kemunafikan, kesombongan, kecemasan, keras kepala, kepuasan diri, kemalasan, karena tidak tahu malu cenderung menciptakan pikiran tidak bajik (Nanasampanno, 2005:179). Bagi manusia yang dapat mengetahui dan melihat, ‘Ini adalah dukkha, asal mula dukkha, berbentinya dukkha dan jalan menuju penghentian dukkha, terjadi penghancuran noda-noda. (It.103).
Anangana Sutta dibabarkan oleh Bhikkhu Sariputta  kepada para Bhikkhu di Savatthi hutan Jeta, taman Anathapindika, berkenaan dengan penjelasan tentang penghentian semua noda batin (asava). Buddha menyatakan bahwa hancurnya noda-noda adalah bagi orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan melihat, yaitu perhatian yang bijaksana (yoniso manasikara) dan perhatian yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara) (M.I.175).
Penjelasan noda-noda ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian bijaksana dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda kebodohan (avijjasava), pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca), kemelekatan terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan, kegelisahan, nafsu indera, niat jahat, kekejaman, nafsu keinginan, belenggu-belenggu, dan kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin seharusnya ditinggalkan dengan dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava), (2) pengendalian diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4) penahanan (adivasana), (5) penghindaran (parivajjana), (6) penghapusan (vinodana), (7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda batin (cittassa-uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.201-202). Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin, orang memilik keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204) merasa bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
“Bukan emas ataupun uang dapat melenyapkan noda-noda batin. Nafsu-nafsu keinginan inderawi adalah musuh-musuh dan para pembunuh, anak panah beracun, dan tali pengekang yang keras “(Thig.357).

Penegasan ulang dinyatakan Buddha bahwa bhikkhu memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, tidak akan terpengaruh oleh hal-hal duniawi seperti makan dan makanan. Kemudian mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihara) ke segala penjuru tanpa permusuhan dan niat jahat. Dan memahami, ada penderitaan, ada asal mula penderitaan, ada Sang Jalan, dan ada jalan keluar dari penderitaan. Dikatakan dengan mengetahui dan melihat (nanadasana) pikiran terbebas dari noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), dan noda kebodohan batin (avijjasava) (M.I.205).
Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta sama-sama menjelaskan bagaimana penanggalan noda batin namun demikian terdapat perbedaan-perbedaan unik di dalamnya. Perbedaan penanggalan noda batin dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta dapat menimbulkan pemahaman yang salah terhadap ajaran apabila tidak diteliti dan dipahami secara benar. Ketelitian dan kejelian diperlukan agar terhindar dari pemahaman yang keliru. Perbedaan cara mengajar, pendengar, jumlah noda batin, dan cara penanggalan noda batin, merupakan alasan yang mendasar dalam peneliti untuk mengkaji Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana-sutta dan Vatthupama Sutta.

B.     PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA SUTTA DAN VATTHUPAMA SUTTA

1.    Konsep Noda Batin
Noda batin (kilesa) dalam berbagai bentuk seperti napsu, kemunafikan, kesombongan, kecemasan, keras kepala, kepuasan diri, kemalasan, karena tidak tahu malu cenderung menciptakan pikiran tidak bajik (Nanasampanno, 2005:179). Bagi manusia yang dapat mengetahui dan melihat, ‘Ini adalah dukkha, asal mula dukkha, berbentinya dukkha dan jalan menuju penghentian dukkha, terjadi penghancuran noda-noda. (It.103-4).
Penanggalan berasal dari kata tanggal, artinya terlepas atau kelupas, lulus, lucut. Menanggalkan yang berarti membuka, melepaskan, proses cara perbuatan menanggalkan (Tim Penyusun, 2001:1137). Dalam Vatthupama-sutta noda batin yang dimaksud meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.202-203).
Bhikkhu Sariputta menjelaskan kepada para Bhikkhu dalam anangana sutta ada empat macam individu yaitu 1) individu mempunyai kekotoran batin tetepi tidak menyadarinya, 2) individu mempunyai kekotoran batin dan menyadarinya, 3) individu tidak mempunyai kekotoran batin dan tidak mengetahuinya, 4) individu tidak mempunyai kekotoran batin dan mengetahuinya (M.I.24-25).
Buddha menjelaskan kepada Nigroda ada beberapa hal yang tidak baik, jahat, tidak disingkirkan, segala sesuatu bersangkutan dengan kekotoran batin. Untuk melenyapkan ini semua, maka aku  akan mengajarkan Dhamma berlakulah hidup sesuai Dhamma, maka segala sesuatu yang bersangkutan dengan kekotoran batin akan dilenyapkan, sesuatu yang baik harus dikembangkan, siapapun, baik kini atau kelak, mampu mencapai dan menghayati dengan penuh kebijaksanaan (D.III.56-57).
Seluruh latihan (Sikkha) dalam agama Buddha bertujuan untuk mensucikan batin. Apabila kesucian batin telah sempurna dikembangkan tercapailah nibbana. Batin yang telah dikembangkan dengan sempurna oleh panna, akan melenyapkan kekotoran batin (D.II.81).
Manusia yang telah terbebas dari kekotoran batin mencapai tingkat kesucian Arahatta Phala disebut sebagai manusia yang telah mencapai nibbana, pencapaian nibbana yaitu berakhirnya segala bentuk penderitaan, sembilan hal yang harus dihilangkan untuk mencapai realitas arahata phala yaitu nafsu, niat jahat, kebodohan, kemarahan, dendam, tidak berterimakasih, irihati, kecemburuan, dan kepicikan. (A.IX.2).
Manusia bijaksana yaitu manusia yang telah memutuskan kekotoran batin, tidak akan terlahir kembali disebut dengan manusia kelahiran agung dan membawa kebahagiaan semua makhluk. Manusia bijaksana telah memutuskan kekotoran batin dan kemelekatan tidak akan masuk kerahim manapun, manusia bijaksana terbebas dari tiga dorongan yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin serta tidak masuk kelumpur. Pikiran konseptual disebut manusia dengan kelahiran agung (Sn.632).
Masalah yang dihadapi manusia sebenarnya muncul dan bersumber dari diri manusia sendiri keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin merupakan kekotoran batin (M.I.191). Jika sesuatu menyenangkan, manusia mulai beraksi dengan suka, menyebabkan berkembangnya nafsu keinginan, kemelekatan (raga). Jika sesuatu tidak menyenangkan, manusia beraksi dengan ketidaksukaan, berkembang menjadi penolakan, kebencian. Pikiran senantiasa dipenuhi dengan kebodohan (moha), nafsu keinginan (lobha), kebencian (dosa), semua kekotoran batin berakar dari tiga penyebab dasar ini dan membuat manusia menderita Datang dan hiduplah dengan pintu-pintu indera yang terjaga, pikiran yang terkendali yang sesuai dengan pedoman, sadar dan selalu diawasi’ (A.III.137).
Buddha memberikan petunjuk untuk memberikan petunjuk untuk menjalani hidup yang lebih baik, mulia dan bahkan untuk mencapai kebebasan dari penderitaan. Memiliki pandangan atau pengertian sesuai dengan Dhamma, akan cenderung mengarahkan diri kedunia lebih baik dan tidak mudah dipengaruhi oleh hal negatif, Mempraktekan Dhamma dengan baik, ia telah menanam benih untuk mencapai kebebasan dari kekotoran batin (kilesa). “Dengan cara yang sama bagi seorang murid tak tergoyahkan keyakinannya pada Buddha, dhamma, sangha. Menpunyai kebajikan seperti Bhagava, hal itu akan membawanya melaju dan mencapai pantai seberang dan melaju kepada lenyapnya kekotoran batin” (S.V.396).
2.    Noda Batin dalam Anangana sutta

Anangana Sutta dibabarkan oleh Bhikkhu Sariputta kepada para Bhikkhu di Savatthi hutan Jeta, taman Anathapindika, berkenaan dengan penjelasan tentang penghentian semua noda batin (asava). Buddha menyatakan bahwa hancurnya noda-noda adalah bagi orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan melihat, yaitu perhatian yang bijaksana (yoniso manasikara) dan perhatian yang tidak bijaksana (ayoniso manasikara) (M.I.175).
Bhikkhu Sariputta menjelaskan kepada para bhikkhu dengan mengumpamakan empat jenis orang yaitu: 1) Orang mempunyai kekotoran batin tetapi tidak menyadarinya, 2) orang mempunyai kekotoran batin dan menyadarinya, 3) orang tidak mempunyai kekotoran batin dan tidak mengetahuinya, 4) orang tidak mempunyai kekotoran batin dan mengetahuinya (M.I.24-25).
Bhikkhu Sariputta menjelaskan orang yang memiliki noda namun tidak memahaminya “Di sini, orang yang memiliki noda namun tidak memahaminya sebagaimana adanya Aku memiliki noda didalam diriku disebut yang lebih rendah dari antara kedua orang yang memiliki noda itu. Di sini, orang yang memiliki noda namun memahaminya sebagaimana adanya, Aku memiliki noda di dalam diriku disebut yang lebih tinggi dari antara kedua orang yang memiliki noda itu. Di sini orang yang tanpa noda namun tidak memahaminya sebagaimana adanya demikian, Aku tidak memiliki noda’ di sebut yang lebih rendah dari antara kedua orang yang tanpa noda itu. Di sini, orang yang tanpa noda namun memahaminya sebagaimana adanya demikian, Aku tidak memiliki noda di sebut yang lebih tinggi dari antara kedua orang tanpa noda itu” (M.I.25).
Penjelasan noda-noda ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian bijaksana dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda kebodohan (avijjasava), pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca), kemelekatan terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan, kegelisahan; nafsu indera, niat jahat, kekejaman; nafsu keinginan, belenggu-belenggu, dan kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin seharusnya ditinggalkan dengan dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava), (2) pengendalian diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4) penahanan (adivasana), (5) penghindaran (parivajjana), (6) penghapusan (vinodana), (7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Penegasan ulang dinyatakan Buddha bahwa Bhikkhu memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, tidak akan terpengaruh oleh hal-hal duniawi seperti makan dan makanan. Kemudian mengembangkan empat kediaman luhur (brahmavihara) ke segala penjuru tanpa permusuhan dan niat jahat. Dan memahami, ada penderitaan, ada asal mula penderitaan, ada Sang Jalan, dan ada jalan keluar dari penderitaan. Dikatakan dengan mengetahui dan melihat (nanadasana) pikiran terbebas dari noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), dan noda kebodohan batin (avijjasava) (M.I.205).
Noda batin dapat muncul dalam diri individu yang masih diliputi keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) keirihatian merupakan salah satu bagian dari noda batin halus (upakilesa) (M.I.36-37). Cara Penangalan Kekotoran Batin dalam Anangana Sutta, Bhikkhu Sariputta membabarkan Anangana Sutta kepada para Bhikkhu dengan mengunakan empat perumpamaan, Bhikkhu Sariputta menjelaskan cara untuk menangalkan noda batin dengan. Mengerahkan usaha atau membangkitkan energi untuk meningalkan noda batin, membangkitkan semangat, dan tidak akan memperhatikan tanda keindahan. Bhikkhu Sariputta membabarkan anangana sutta mengunakan metode pengajaran mengajarkan Dhamma dengan pengetahuan tinggi, dengan cara memperlihatkan bukti ketika mengajar para siswa, agar para siswa memiliki pengetahuan dan pandangan benar (Abhinnaya-Dhammadesana) (M.II.398). 
3.    Noda Batin Dalam Vatthupama-Sutta
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda batin (cittassa-uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.201-202). Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin, orang memilik keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204) merasa bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
“Bukan emas ataupun uang dapat melenyapkan noda-noda batin. Nafsu-nafsu keinginan inderawi adalah musuh-musuh dan para pembunuh, anak panah beracun, dan tali pengekang yang keras “(Thig.357).

Buddha menerangkan kepada para Bhikkhu tentang perbedaan antara batin yang tercemar dan keadaan batin yang bersih tanpa noda Buddha mengumpamakan dengan tiga perumpamaan: 1) sepotong kain kotor dan ternoda dicelupkan dalam pewarna, maka kain itu akan tetap jelek, tidak cemerlang, artinya jika individu mempunyai pikiran kotor yang diliputi dengan keinginan jahat maka individu tersebut akan menerima hasil yang tidak menyenangkan, 2) sepotong kain bersih dan terang dicelupkan ke dalam pewarna maka kain itu akan nampak lebih indah dan cemerlang. Artinya jika individu mempunyai pikiran bersih dan mampu menyerap Dhamma maka individu akan memperoleh hasil yang menyenangkan, 3) sepotong kain kotor dan ternoda menjadi cerah bila dicuci dengan air bersih. Artinya jika individu mengembangkan sila, samadhi, panna maka batinnya akan bersih.
 Buddha menjelaskan, terdapat enam belas macam kekotoran batin yaitu: Kekotoran batin yang mengotori pikiran (Citta-upakilesa), ketamakan dan keserakan (Abhijjasama lobha), niat jahat (Byapada), kemarahan (Kodha), mudah tersinggung (Upanaha),penghinaan (Makkha), sikap menguasai (Palasa), iri hati (Issa), keras kepala (Thambha),kepongahan (Sarambha), kesombongan (Mana), arogansi (Atimana), keangkuhan (Mada), dan kelalaian (Pamada) (M.I.36).
4.    Penegasan Konsep Penanggalan
Penanggalan berasal dari kata tanggal, artinya terlepas atau kelupas, lulus, lucut. Menanggalkan yang berarti membuka, melepaskan, proses cara perbuatan menanggalkan (Tim Penyusun, 2001:1137). Dalam Vatthupama-sutta noda batin yang dimaksud meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.202-203).
Penjelasan noda-noda ditunjukkan secara menyeluruh dan bertahap bersamaan dengan perhatian bijaksana dalam tujuh cara peninggalan noda-noda. Noda-noda disebutkan sebagai noda nafsu indera (kamasava), noda dumadi (bhavasava), noda kebodohan (avijjasava), pandangan salah (ditthisava), keraguan (vicikicca), kemelekatan terhadap ritual keagamaan (silabataparamasa): kejengkelan, kegelisahan; nafsu indera, niat jahat, kekejaman; nafsu keinginan, belenggu-belenggu, dan kesombongan. Buddha menjelaskan bahwa noda batin seharusnya ditinggalkan dengan dan telah ditinggalkan dengan (1) melihat (dassava), (2) pengendalian diri (samvara), (3) penggunaan (patisevana), (4) penahanan (adivasana), (5) penghindaran (parivajjana), (6) penghapusan (vinodana), (7) pengembangan (bhavana) (M.I.7-12).
Buddha menerangkan kepada para Bhikkhu tentang perbedaan antara batin yang tercemar dan keadaan batin yang bersih tanpa noda Buddha mengumpamakan dengan tiga perumpamaan: 1) sepotong kain kotor dan ternoda dicelupkan dalam pewarna, maka kain itu akan tetap jelek, tidak cemerlang, artinya jika individu mempunyai pikiran kotor yang diliputi dengan keinginan jahat maka individu tersebut akan menerima hasil yang tidak menyenangkan, 2) sepotong kain bersih dan terang dicelupkan ke dalam pewarna maka kain itu akan nampak lebih indah dan cemerlang. Artinya jika individu mempunyai pikiran bersih dan mampu menyerap Dhamma maka individu akan memperoleh hasil yang menyenangkan, 3) sepotong kain kotor dan ternoda menjadi cerah bila dicuci dengan air bersih. Artinya jika individu mengembangkan sila, samadhi, panna maka batinnya akan bersih.

C.    PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA SUTTA DAN VATTHUPAMA SUTTA

1.    Penanggalan Noda Batin Dalam Anangana sutta
Buddha memberikan ajarannya kepada para siswa dengan melihat kondisi batin para siswa pada saat itu sehingga ajaran Buddha akan mudah untuk diterima oleh para siswa dan dapat memberikan manfaat berupa kebahagiaan, pengetahuan yang luas dan rasa puas dengan ajaran Buddha.
a.    Penanggalan Noda Batin dengan membangkitkan semangat
Noda dalam Anangana Sutta diartikan sebagai keinginan-keinginan jahat dan tak bajik. Keinginan tak bajik adalah curang, licik, berbahaya, congkak, kosong, pribadinya tak-berisi, berlidah tajam, berbicara tanpa-pikir mereka tidak terjaga di dalam kemampuan indera mereka, tidak sederhana dalam makan, tidak mengapdi untuk pencerahan, tidak peduli dengan kehidupan petapa, tidak memiliki rasa hormat terhadap pelatihan, bermewah-mewah, sembrono, pemimpin dalam menghasut, mengabaikan kesendirian, malas, tidak sepenuhnya sadar, tidak terkonsentrasi, pikirannya terkonsentrasi, pikirannya mengembara, kurang kebijaksanaan, orang yang ucapannya tidak berguna (M.I.25).
Noda batin dapat dihilangkan dengan membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, dan membangkitkan energi untuk meninggalkan noda sehingga individu mati tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, tanpa noda dan dengan pikiran yang tidak kotor. Di umpamakan sebuah pinggan perunggu dibawa dari toko dalam keadaan tertutup kotoran dan noda, dan pemiliknya membersihkan serta tidak menaruhnya di sudut yang berdebu (M.I.26).
Usaha atau semangat adalah perbuatan yang dilakukan oleh badan, ucapan, maupun pikiran yang teguh serta bersih dalam melakukan pekerjaan, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Usaha atau semangat merupakan pemberi dorongan untuk tahan terhadap penderitaan, teguh dalam pendirian dan bertanggung jawab atas tugas serta kewajiban yang dilimpahkan. Membebaskan diri sendiri dari semua belenggu batin terletak pada usaha sendiri dan bukan pada kemampuan orang lain baik manusia biasa ataupun makhluk suci. Sang buddha yang paling agung pun tidak bisa membebaskan manusia dari kotoran batin, kecuali hanya sekedar ‘menunjukan jalan’ jalan itu adalah sīla, samadhi dan pañña. Perjuangan harus engkau laksanakan sendiri sang Tathagata hanya penunjuk jalan orang yang melaksanakan meditasi, yang mengalami jalan ini akan terbebas dari jerat dan cengkraman Mara (Dh.276).
 Pengendalian pikiran tidak selalu berupa latihan formal dengan meditasi, tapi dari setiap kegiatan yang dilakukan dapat menjadi latihan pengendalian pikiran. Pengendalian pikiran yang terpenting bukanlah tempat di mana seseorang berlatih, tetapi pengembangan kesadaran itulah yang terpenting. Melakukan berbagai aktivitas sehari-hari seseorang hanya perlu sadar dan waspada dengan apa yang dilakukan, perasaan apa yang dirasakan dengan sendirinya dapat melatih pikiran.
Semangat dan usaha keras dicontohkan oleh Bhikkhu Culapanthaka. Culapanthaka adalah seorang Bhikkhu yang tidak cerdas. Bhikkhu Culapanthaka bersaudara dengan Bhikkhu Mahapanthaka yang cerdas. Mahapanthaka tidak memasukkan Culapanthaka dalam daftar Bhikkhu yang di undang oleh Jivaka tabib Buddha Gotama untuk menerima dana makan siang karena malu. Culapanthaka kecewa dan memutuskan untuk kembali hidup sebagai seorang perumah tangga. Buddha membawa dan menyusuh Culapanthaka duduk di depan gandhakuti setelah mengetahui keinginan tersebut. Buddha memberikan selembar kain bersih kepada Culapanthaka menyuruhnya duduk menghadap ke timur dan menggosok-gosok kain tersebut sambil mengulang kata rajoharanam yang berarti kotor. Culapanthaka mengulang kata rajoharanam hingga kain menjadi kotor.
Pemahaman tentang ketidakkekalan segala sesuatu yang berkondisi muncul setelah memperhatikan kain yang perlahan berubah menjadi kotor karena digosok-gosok. Culapanthaka merealisasi kesucian tingkat arahat dengan memiliki ‘pandangan tentang analitis’ sehingga Culapanthaka tidak lagi dungu. Culapanthaka juga memiliki kekuatan supranatural yaitu mampu merubah diri menjadi banyak. Buddha menegaskan bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian arahat “melalui usaha yang tekun, semangat, disiplin, dan pengendalian diri, hendaklah orang bijaksana membuat pulau bagi dirinya sendiri yang tidak dapat ditenggelamkan oleh banjir (Dh.25).
b.   Penanggalan noda batin dengan mengerahkan usaha
Usaha benar dalam menumbuhkan semangat menfokuskan energi pikiran pada kondisi mental seseorang. Tujuannya adalah untuk mengurangi, bahkan menghilangkan pikiran tidak bermanfaat (akusala) dan untuk meningkatkan dan menghasilkan pikiran bermanfaat (kusala) yang kokoh sebagai sifat alami dan karakteristik integral dari kondisi mental individu. Tekad dan semangat berperan utama dalam keberhasilan kerja, tekad dan semangat menghasilkan sumber daya manusia berkualitas unggul yang memiliki sikap positif seperti sabar, ulet, tekun, loyal, kreatif, kerja keras, dan kekuatan menghadapi berbagai hambatan dalam bekerja. Perilaku positif dihasilkan melalui dua jalan yaitu tidak merasa puas hati dengan apa yang telah dicapai dan tidak mengendurkan usaha dalam mencapai tujuan (A.II.5).
Usaha benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat positif dan antusias dalam hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karir kita, studi kita, atau dalam praktek Dhamma kita. Dengan antusiasme terus- menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam hal-hal yang kita lakukan. Ada empat aspek Usaha Benar, dua aspek mengenai kejahatan dan dua lainnya mengenai kebaikan. Pertama, adalah usaha untuk menolak kejahatan yang telah muncul, kedua usaha untuk mencegah munculnya kejahatan. Ketiga, adalah usaha untuk mengembangkan kebaikan yang belum muncul, dan keempat, usaha untuk memelihara kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan Usaha Benar dalam hidup kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan mental yang buruk serta meningkatkan dan memantapkan pikiran yang sehat sebagai hal yang alamiah dalam pikiran kita.
Pengendalian diri melalui usaha yaitu untuk menghindari dan menakhlukkan keserakahan, kebencian dan kebodohan serta mengembangkan dan memelihara sesuatu yang baik (A.IV.162). Usaha yang paling mulia bagi umat manusia adalah usaha untuk menghindari segala bentuk kejahatan yang belum dilakukan, tidak lagi mengulang perbuatan jahat yang penuh dilakukan, berusaha untuk melakukan kebaikan dan memelihara kebaikan yang telah dimiliki (Dh.23-24).
Usaha benar (Samma vayama), merupakan usaha yang keras untuk (a) mencegah timbulnya pikiran-pikiran jahat yang belum ada atau timbul (samvara), (b) membuang pikiran-pikiran jahat yang telah muncul (pahana), (c) menghasilkan dan mengembangkan pikiran-pikiran baik yang belum muncul (bhavana), dan (d) meningkatkan dan mempertahankan pikiran-pikiran baik yang telah ada (anurakkhana) (A.II.16).
Buddha menyatakan bahwa, “siapapun yang selalu berusaha melalui semangat (attapi), usaha (padhana), ketekunan (anuyoga), kewaspadaan (appamada) dan pemikiran yang benar (sammamanasikara), maka ia dapat memusatkan pikirannya” (DII.101)
.Buddha membabarkan Dhamma berkenaan dengan usaha (padhana). Terdapat tujuh faktor penerangan sempurna (Sattasambojjhanga), yaitu: kesadaran (sati sambojjhanga), penelitian terhadap kebenaran (dhamma vicaya sambojjhanga), semangat (viriya sambojjhanga), kegiuran (piti sambojjhanga), konsentrasi (samadhi sambojjhanga), dan keseimbangan batin (upekkha sambojjhanga) (D.II.106).
Empat ketekunan usaha yang benar (samma vayama) merupakan syarat bagi konsentrasi. Usaha benar berfungsi secara bersama-sama dan simultan dengan dua unsur lain yaitu: perhatian benar dan konsentrasi benar. Usaha benar menyingkirkan pikiran-pikiran yang jahat dan tidak sehat, yang merintangi keterangan pencerapan dan meningkatkan serta memelihara faktor-faktor batin yang sehat, membantu mengembangkan konsentrasi (Piyadasi, 2003:222).
Usaha benar (samma vayama) adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan daya pikir yang sehat dan berguna untuk mencapai suatu ketenangan, menghilangkan sifat keragu-raguan, kekhawatiran, ketakutan dan kegelisahan yang timbul dalam diri manusia. Memiliki usaha benar seseorang dapat mengurangi dan akhirnya manghapuskan keadaan mental yang buruk serta meningkatkan dan memanfaatkan pikiran yang sehat sebagai hal alamiah dalam pikiran manusia.
2.    Penanggalan Noda Batin dalam Vathupamma Sutta
Vatthupama-sutta dibabarkan di Savatthi Hutan Jeta, Taman Anathapindhika oleh Buddha kepada para Bhikkhu, berkenaan dengan enambelas noda batin (cittassa uppakkilesa) yang meliputi keserakahan, niat jahat, kemarahan, dendam, penghinaan, sikap menguasai, iri hati, kekikiran, penipuan, kecurangan, keras kepala, kepongahan, kesombongan, arogansi, keangkuhan, dan kelalaian (M.I.201-202).
Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan kekotaran batin, orang memiliki keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha (M.I.203-204). Merasa bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
Noda Batin dalam Vatthupama sutta dapat dicegah dan diatasi agar tidak berkembang dengan memunculkan sifat-sifat baik dalam diri manusia, yang terdiri dari Pengembangan empat Appamana, rajin dan bersemangat dalam mengembangkan kewaspadaan, melatih ketenangan atau samatha, melaksanakan meditasi/vipassana (M.I.205). Pengembangan empat Appamana yaitu keadaan yang tidak terbatas yang perlu dikembangkan dalam pelaksanaan samadhi untuk menghilangkan noda-noda batin dalam diri, sering juga disebut kediaman yang luhur (Brahma vihara) yang terdiri dari cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati bahagia (mudita),dan keseimbangan batin (uppekha).
Cinta kasih (metta) adalah sifat luhur yang pertama yang berarti kemauan baik yang bebas dari nafsu, cinta kasih kepada semua mahkluk, mengharap mereka semua berbahagia (D.I.9). Cinta kasih yang dipancarkan adalah cinta kasih yang universal tanpa membedakan apapun juga dan tanpa pamprih yang dipancarkan keseluruh penjuru. Sang Buddha dalam setiap ajaran selalu menekankan kepada para siswa dan pengikutnya untuk selalu mencarkan cinta kasih kepada semua makhluk. Tampak jelas bahwa kekuatan cinta kasih dapat mengalahkan apapun juga, kekerasan, niat jahat dapat dikendalikan dengan cinta kasih yang tulus, kalahkan kemarahan dengan cinta kasih dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan (Dhp.233).
Sifat luhur kedua yang dapat memuliakan manusia adalah kasih sayang (karuna), yang dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat mengentaskan hati kearah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan atau menyelamatkan makhluk-makhluk lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan atau menyelamatkan makhluk-makhluk lain dari kondisi tersebut (D.I.9).
Hati seseorang yang penuh kasih sayang lebih halus dan mulia. Ia tidak akan berhenti dan belum merasa puas sebelum dapat meringankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari penderitaan. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan tidak hidup hanya untuk dirinnya sendiri, melainkan untuk orangn lain. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang lain tanpa mengharapkan balas jasa apapun.
Kasih sayang harus dipancarkan kepada mereka yang sakit, yang jahat, yang miskin dan kepada semua makhluk, orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, lobha dan bodoh patut mendapat kasih sayang, sama halnya dengan orang-orang yang menderita sakit jasmani. Mereka hendaknya tidak dibenci, dicemooh atau dihina, tetapi kita harus menaruh kasihan kepada mereka karena mereka adalah orang yang sakit dan cacat batinnya.
Simpati (mudita) adalah suatu perasaan simpatik atas kegembiraan atau kesedihan orang lain. Secara negatif itu menunjukkan pikiran yang bebas dari irihati atau kemauan jahat (D.I.9). Individu senang mendengar kegagalan atau kesusahan orang lain, tetapi merasa kurang senang melihat kemajuan orang lain. Mereka tidak mau memuji atau memberi selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi mereka berusaha mengacaukan, memfitnah, menjelekkan bahkan menaruh kebencian kepada individu lain.
Salah satu cara mengetasi perasaan irihati adalah mudita karena mudita dapat mencabut akar-akar sifat irihati yang merusak. Manusia tidak hanya sukar untuk bersimpati dengan keberuntungan musuhnnya, tetapi juga tidak dapat bergembira melihat keuntungan kawannya. Mereka mulai mencari-cari alasan untuk menghancurkan orang, melakukan pembakaran, peracunan, pembunuhan penembakan adalah cara yang mereka tempuh untuk menghancurkan orang lain.
Upekkha menurut asal katanya dalam bahasa pali, yaitu “upa” berarti “dekat” dan kata “ikh” berarti “melihat”. Upekkha berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna : melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harafiah upekkha dalam bahasa pali, yaitu “upa” berarti “dekat” dan kata “ikh” berarti “melihat”. Upekkha berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna : melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harafiah Upekkha berarti : pertimbangan yang lurus, pandangan yang adil yaitu tidak terikat atau benci, tiodak ada rasa senang dan tidak senang (Narada, 1990:78).
Keseimbangan adalah perasaan netral, bebas dari perasaan simpatik dimana perasaan simpatik adalah tidak mungkin atau tidak dapat dilaksanakan, seperti membantu (mereka yang membutuhkan atau mereka yang ada dalam bahaya) tidak mungkin dapat dilaksanakan dan juga dimana suatu perasaan simpatik terhadap satu pihak akan menimbulkan prasangka dan karena itu merugikan pada pihak lain. Kesucian ini berdasarkan atas pengertian terhadap hukum kamma, akibat mengikuti sebab atau memetik apapun yang telah ditanam sikap batin ini dianjurkan apabila, seperti telah disebutkan sebelumnya, bantuan atau simpatik adalah tidak mungkin atau tidak dapat dilaksanakan.
Upekkha diterjemahkan sebagai keseimbangan (baik sebagai keadaan pikiran mulia maupun serbagai keadaan tidak terbatas). Upekkha sebagai salah satu dari tiga macam perasaan yang diterjemahkan dengan “kenetralan” (bukan menyenangkan dan bukan tidak menyenangkan) (D.I.9).
Keseimbangan batin penting sekali terutama bagi manusia biasa yang hidup dalam dunia yang penuh dengan segala fenomena kehidupan. Untung dan rugi, kemasyuran dan nama buruk, ujuan dan celaan, kebahagiaan dan penderitaan adalah kondisi duniawi yang dapat dihindarkan dalam kehidupan umat manusia. Pada umumnya manusia akan menjadi bingung dan kacau bila mengalami keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, merasa senang dipuji, dan merasa sedih dan tertekan bila dicela atau dicaci maki. Sang Buddha bersabda : orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa ditengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai. Demikianlah mereka melatih dirinya dalam keseimbangan batin.
Rajin dan bersemangat  dalam mengembangkan kewaspadaan diperlukan sebagai usaha untuk melenyapkan noda batin yang telah muncul dalam diri individu. Dengan memiliki kewaspadaan individu dapat menghilangkan gangguan-gangguan halus jasmani dan mental yang berhubungan dengan kegembiraan dan kegiuran, akan membawa kesenangan yang tenang sehingga pikiran siap untuk konsentrasi lebih mendalam.
Batin dapat dikembangkan untuk mencapai ketenangan batin (samatha bhavana) melalui pencapai jhana-jhana, dan untguk mencapai pandangan terang (vipassana bhavana) melalui penembusan tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta). Untuk mencapai kedua macam pengembangan batin tersebut melalui pelaksanaan samadhi atau meditasi, dengan cara memusatkan pikiran pada obyeknya masing-masing. Sesungguhnya pencapaian jhana yang menimbulkan ketenangan batin bukan merupakan tujuan terakhir, karena masih bersifat duniawi (lokiya), tetapi sebagai sarana atau keadaan untuk mencapai pandangan terang yang bersifat diatas atau diluar duniawi (lokuttara).
Konsentrasi duniawi hanya dapat dikembangkan oleh orang yang telah kokoh silanya, memotong apapun dari sepuluh penghalang (palibodha) yang ada pada dirinya, mendekati dan berhubungan dengan sahabat yang baik (kalyanamitta), yang dapat memberikan obyek meditasi yang cocok, harus memahami satu dari empat puluh obyek meditasi yang sesuai dengan watyaknya, bertempat tinggal ditempat yang mendukung pengembangan konsentrasinya, memotong penghalang-penghalang yang lebih kecil tanpa melewatkan petunjuk apapun untuk suatu pengembangan batin.

D.    ANALISIS PENANGGALAN NODA BATIN DALAM ANANGANA-SUTTA DAN VATTHUPAMA-SUTTA

1.    Perbedaan penanggalan noda batin dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta
Studi komparatif merupakan penelitian untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang satu atau dua kejadian, benda, orang, prosedur, kerja, ide, kritik terhadap orang dan kelompok (Arikunto, 1998:247-248).
Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta membahas noda batin dalam penjelasan dan cara pandang yang berbeda. Perbedaan merupakan metode dalam mendiskripsikan ajaran. Melalui penjelasan Buddha Gautama dan Bhikkhu Sariputta secara terperinci maka dapat diperoleh konsep jelas mengenai persamaan dan perbedaan noda batin dalam Anangana-sutta dan Vatthupama-sutta.
a.   Perbedaan berdasarkan konsep
1)   Anangana-sutta
Y.M Sariputta membabarkan Anangana-sutta kepada para Bhikkhu tentang penanggalan noda batin dengan membangkitkan semangat serta semangat serta mengerahkan usaha. Noda batin dapat dihilangkan dengan membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, dan membangkitkan energi untuk meninggalkan noda sehingga individu mati tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, tanpa noda dan dengan pikiran yang tidak kotor. Di umpamakan sebuah pinggan perunggu dibawa dari toko dalam keadaan tertutup kotoran dan noda, dan pemiliknya membersihkan serta tidak menaruhnya di sudut yang berdebu (M.I.26).
2)   Vatthupama-sutta
Buddha menjelaskan tentang penanggalan noda batin dalam Vatthupama-sutta melalui perumpamaan sepotong kain yang kotor dan ternoda. Penanggalan noda batin dilakukan dengan penyebarkan pikiran dengan penuh cinta kasih kesemua penjuru, dan menyebarkan pikiran yang dipenuhi kasih sayang kesegala penjuru (M.I.38).
b.  Perbedaan berdasarkan metode pengajaran
1)   Anangana-sutta
Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam 4 golongan (A.II.135). Pertama jenius (ugghatitannu), diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul diatas permukaan air dan pasti akan mekar. Yang kedua, intelektual (vipancintannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul diatas permukaan air. Yang ketiga, individu yang dapat dilatih (neyyo) bagaikan bunga teratai yang agak jauh didalam air, sehingga butuh waktu yang yang agak lama untuk muncul diatas permukaan air. Yang keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo) menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul diatas permukaan air (Wijaya Mukti, 2003: 310). Perkembangan intelektual individu menentukan pemahaman terhadap ajaran yang disampaikan, diperlukan waktu yang tepat untuk membabarkan ajaran yang membutuhkan analisis dan ajaran yang mudah dijawab.
2)   Vatthupama-sutta
Ajaran buddha terbuka untuk semua individu, namun sasaran pembabaran dhamma yang pertama adalah individu yang hanya memiliki debu dimatanya. Dhamma sulit dimengerti, pelik dan tidak mudah diterima oleh sembarang individu yang sangat terbelenggu sebagai budak nafsu. Maka buddha mengambil kebijaksanaan dengan memilih dan mendahulukan individu yang tergolong siap, sehingga mampu menangkap ajaran dan terjalin dalam waktu singkat berhasil meraih pencerahan. Buddha membuat perencanaan untuk mengajarkan dhamma (Wijaya Mukti, 2003:314).
Buddha membabarkan Vatthupama-sutta melalui perumpamaan sepotong kain yang kotor dan ternoda. Sepotong kain yang murni dan cerah kemudian dicelupkan dalam satu pewarna, kain tersebut akan tercelup rata dan murni warnanya. Demikian juga pikiran yang bersih mendapatkan tempat yang berbahagia.
c.     Perbedaan berdasarkan esensi ajaran
1)   Anangana-sutta
Anangana sutta di babarkan oleh Bhikkhu Sariputta ketika berada di savatthi di hutan jeta, taman Anathapindika bersama Buddha. Individu yang memiliki noda tetapi tidak memahami akan membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, atau membangkitkan energi untuk meninggalkan noda, maati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, dengan noda, dengan pikiran yang kotor.
Individu yang memiliki noda memahaminya dengan membangkitkan semangat, mengerahkan usaha, dan emmbangkitkan energi untuk meninggalkan noda, mati tanpa nafsu, tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan batin, tanpa noda, dan dengan pikiran yang kotor (M.I.25).
2)   Vatthupama Sutta    
Buddha membabarkan Vathupama-sutta ketika berada di Savatthi di hutan Jeta, taman Anathapindika. Ketamakan dan keserakahan merupakan kekotoran yang menodai pikiran, sehingga bhikkhu Meninggalkan lewat penghapusan (samucchedappahana) yaitu pencabutan akar seluruhnya lewat jalan diatas duniawi. Enam belas kekotoran batin ditinggalkan lewat jalan-jalan mulia, jalan pemasuk arus meninggalkan penghinaan, sikap menguasai, iri hati, keserakahan, menipu, tidak jujur. Jalan yang tidak kembali lagi meninggalkan niat jahat, kemarahan, dendam dan kelalaian. Jalan tingkat Arahat meninggalkan keinginan memiliki milik individu lain, keserakahan yang tidak benar, kekeraskepalaan, kecongkaklan, kesombongan, arogansi dan keangkuhan.
Penaggalan Noda batin dilakukan dengan melepas, menghalau, membebaskan, meninggalkan, dan penghapuskan kekotoran batin. Memiliki keyakinan yang sempurna pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ketika pikiran telah terbebas darai noda nafsu indera, dari noda dumadi, dan noda kebodohan batin. Ketika pikiran terbebas, disana muncul pengetahuan.
2.    Persamaan Penanggalan Noda batin dalam Anangana-sutta dan Vathupamma-sutta
Anangana-sutta dan Vathupama-sutta terdapat dalam Sutta Pitaka kotbah menengah (majjhima nikaya) pada bagian (Nikaya) yang pertama (mulapannasa) bagian (mulapariyaya) sutta ke lima dan sutta ke tujuh. Anangana-sutta dan Vathupama-sutta memberikan gambaran cara menaggalkan noda batin melalui melepas, menghalau, membebaskan, meningggalkan, dan menghapuskan kekotoran batin. Persamaan mendasar antara Anangana-sutta dan Vathupama-sutta terletak pada tempat pembabaran yaitu Hutan Jeta, taman milik Anathapindika, di Savatthi. Kedua sutta sama-sama membahas tentang penaggalan noda batin yang harus dihapuskan untuk mencapai nibbana.

E.     PENUTUP

Penaggalan noda batin dalam Anangana sutta dan Vathupama sutta dijelaskan menggunakan cara pandang yang berbeda. Anangana sutta menekankan pada empat jenis manusia yang dapat menaggalkan noda batin dengan cara masing-masing yaitu melalui pembangkitan semangat dan mengerahkan usaha, membangkitkan energi untuk meninggalkan noda. Noda batin dalam Anangana sutta diartikan sebagai keinginan-keinginan yang jahat atau tak bajik yang perlu ditinggalkan. Pencapaian tingkat kesucian tercapai secara bertahap dengan mengetahui noda batin sebagai noda batin dan meninggalkannya, serta mengetahui bahwa noda batin telah ditinggalkan. Dengan meninggalkan dan telah meninggalkan kekotaran batin, orang memiliki keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. merasa bahagia dan pikirannya pun terkonsentarasi.
Sedangkan Vatthupama sutta menekankan pada penaggalan noda batin. Pikiran yang bersekutu dengan kebodohan dan kemalasan akan menimbulkan munculnya pikiran negatif (akusala citta), sehingga mudah melakukan kejahatan atau perbuatan tercela. Pikiran selalu diliputi dengan   kebodohan (moha cetasika) tidak dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, tidak mampu membuat keputusan sendiri, selalu mengikuti pendapat orang lain baik dalam mengkritik dan memuji orang lain.
Melalui hasil dari penelitian ini, penulis menyarankan agar setiap manusia hendaknya mengembangkan perhatian dan kewaspadaan terhadap segala hal yang dapat menumbuhkan kemajuan batin. Perkembangan dan kemajuan batin akan dapat terealisasi apabila individu telah menaggalkan noda batin, maka setiap individu harus menumbuhkan  keyakinan  dan semangat  dalam mengembangkan potensi yang dimiliki  dan mengarahkan pikiran pada hal-hal yang baik dan bermanfaat.
Bagi Samana dan perumah tangga, dapat melaksanakan kesempatan mulia dalam menjalankan praktek-praktek luhur, meliputi usaha pemahaman ajaran secara teoritis (pariyati), praktek ajaran (patipati), sehingga mampu menanggalkan noda batin untuk dapat mencapai kebahagiaan pada kehidupan sekarang maupun kehidupan yang akan datang.
Bagi peneliti lain, penulis harapkan dapat melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan metode yang lain dan untuk lebih fokus dalam menganalisa berbagai kualitas manusia sesuai dengan perubahan kehidupan yang terjadi secara bertahap. Analisis dapat disesuaikan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan nilai kemanusiaan dan Dhamma.

BOLEH DICOPY TINGGALKAN KOMENTARNYA YA....

DAFTAR RUJUKAN
Ańguttara-Nikāya (The Book of the Gradual Sayings) (Ones, Twos, Threes) Woodward, F. L. (Transl.). 1989. Oxford: Pali Text Society.
Anguttara-Nikaya (The Book of the Gradual Sayings) Vol. II (The Book of the Fours) Woodward, F.L. (Transl.). 1982. London & Boston: Pali Text Society.
Dhammapada (The Word of the Doctrine). Norman, K.R. (Transl.). 2000. Oxford: Pali Text Society.
Itivuttaka. Ireland, Jhon D. (Transl.). 1998. Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia.
Kitab Suci Udāna (Kotbah-kotbah Inspirasi Buddha). Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati. 1995. Yogyakarta: Vidyasena.
Majjhima-Nikāya (The Middle Length Sayings) Vol. I1 Horner, I.B. (Transl).. Oxford: PTS.
Ñānamoli & Bodhi Bikkhu. (Transl.). 2004.  Majjhima Nikāya (The Middle Length Discourses of the Buddha) 1. Diterjemahkan ke Indonesia oleh Lanny Anggawati & Wena Cintiawati Klaten: Vihāra Bodhivaŋa & Wisma Dhammaguna.
Ñānamoli, Bhikkhu (Transl.). 2006. Khuddakapatha (The Minor Reading) Jilid 2. Diterjemahkan oleh Wena C. & Lenny A. Klaten: Wisma Sambodhi.
Piyadasi, Mahatera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Wijaya-Mukti K. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Sewindu Ekayana Buddhis Centre.

1 komentar:

TAMBAHKAN KOMENTAR DENGAN :


1. GAMBAR » [img] URL GAMBAR [/img]
2. VIDEO » [youtube] URL VIDEO [/youtube]
3. EMOTICON »

:a :b :c :d :e :f :g :h :i
:j :k :l :m :n :o :p :q :r
:s :t :u :v :w :x :y :z